Peluru yang baru saja ditembakkan kini meluncur menembus kaca dan memelesat melewati daun telinga Max sebelum akhirnya memukul kaca di pintu satunya. Peluru itu memang tidak menembus kepalanya, tetapi dia nyaris tertembak dan nyawanya hampir saja melayang. Dia pernah mengkhayalkan adegan semacam ini berulang kali di dalam kepalanya, tetapi ternyata saat mengalaminya sendiri rasanya benar-benar menakutkan.
Pria itu masih membeku di tempat sampai sekitar satu menit kemudian. Dia baru bergerak setelah menyadari asap yang mengepul dari bagian depan mobilnya semakin tebal dan membuat dadanya sakit. Max bergerak keluar dengan kaki lemas lalu terhuyung di pinggir jalan. Tangannya mencengkeram besi pembatas jalan kala isi perutnya bergerak keluar semua. Rasa muntahan memenuhi mulutnya, akan tetapi Max tidak peduli. Dia baru berhenti kala rasa mualnya sedikit mereda. Max lalu mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangan. Dia baru saja hendak berbalik kala bunyi pelatuk terdengar di belakangnya kepalanya.
Max menoleh dan menemukan Raphael kini berdiri di belakangnya dengan pistol di tangan. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tidak terbaca, entah karena minimnya cahaya atau memang Max gagal mengartikan arti di dalamnya. Karena tidak ingin berlama-lama bermain, Max menggeser pistol itu dan berjalan dua langkah sebelum menjatuhkan pantatnya di atas aspal.
"Jadi apa yang kau lakukan di sini, Maxmillian Graham?" tanyanya sambil memiringkan kepala. "Seingatku aku tidak pernah mengajakmu."
Max terdiam. Selain dia sama sekali tidak punya jawaban untuk menjelaskan soal aksi penyusupannya, dia juga masih terlalu kaget untuk mencerna situasi. Bagian dalam mulutnya juga masih terasa pahit sekarang. Max meludah hingga membuat Raphael mendengus.
"Kau bisu, heh?" Raphael terdengar makin tidak sabar. "Sudah mengacaukan misi dan mendadak idiot, lelucon macam apa ini!"
"Sebenarnya apa yang terjadi di istana?" tanya Max sambil menatap Raphael. Dia sama sekali tidak mengharapkan jawaban, hanya saja dia benar-benar ingin tahu kejadian yang nyaris saja membuat nyawanya melayang.
"Orang rendahan sepertimu enggak perlu tahu!" ketusnya.
"Apa kalian terlibat?" tanyanya lagi, enggan menyerah dengan pertanyaannya sebelumnya.
"Borgol dan tangkap dia!" pekik Raphael.
Beberapa anggota Caragan terlihat ragu untuk melakukan perintah aneh itu, akan tetapi Raphael mengulang kata-katanya dengan nada lebih keras dan memukul kepala Max dengan gagang pistol. Max menggeleng beberapa kali untuk menghilangkan rasa pusing yang mendadak timbul. Akhirnya dia memilih pasrah saja saat tangannya diborgol dan dia didorong menuju salah satu mobil. Toh, tidak ada gunanya melawan dalam kondisi seperti ini. Raphael jelas sekali gagal dalam misi ini dan mungkin dia akan membuat atasan murka. Makanya temperamennya yang memang sudah buruk jadi makin menyebalkan. Mungkin rekannya itu juga membutuhkan kambing hitam untuk dipersalahkan makanya sengaja menangkapnya.
Sesampainya di kantor Caragan, Max digiring menuju ruang interogasi. Borgolnya memang sudah dilepas, akan tetapi dia masih enggak bergerak ke mana-mana. Keinginannya untuk melarikan diri juga mendekati titik nadir. Bayangan pengejaran tadi terus berkelebat di depan mata seolah-olah benaknya memang sengaja memutar ulang setiap adegan agar membuatnya trauma.
"Senior?"
Saat menatap ke arah datangnya suara, Byul muncul di sana. Gadis itu membawa dua gelas kopi dan menaruh satu buah di depan Max. Pria itu menarik gelas kopi dan langsung menyesapnya. Rasa pahit bercampur manis itu sedikit mengurangi rasa tidak enak di dalam mulutnya.
"Byul, dengarkan aku!" katanya setelah dua tegukan besar.
"Ya?"
"Keluarlah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
One : En Passant
FantasiaBuku Satu Kabar burung menyebutkan kalau kerajaan Diliar memiliki komplotan bawah tanah bernama Khisfire. Ada yang bilang kalau Khisfire adalah komplotan pembunuh bayaran. Namun, tidak ada yang pernah bertemu Khisfire--lebih tepatnya tidak pernah a...