Chapter 19. Ruy Lopez (Part 2)

71 25 0
                                    


Jantung Isel berdebar kencang seiring langkah kaki yang berjalan mendekat. Dia mengambil beberapa barangnya lalu memasukkan ke dalam waist bag. Setelah itu, dia menarik masker dan buru-buru menjejalkan tasnya masuk kembali ke dalam loker sambil berusaha untuk tidak serampangan serta tidak menimbulkan suara kala dia mendorong pintu besi itu dengan cepat dan menyampirkan waist bag itu ke pundak agar tidak menghalangi pergerakan.

Isel langsung berdiri dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Dia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya kala berpapasan dengan dua orang pria yang kini berjalan dari arah berlawanan dengan membawa kotak kayu di tangan. Untung saja, dua orang pria itu tidak menghentikan langkahnya atau mengamatinya lebih seksama hingga Isel bisa melanjutkan perjalanan tanpa hambatan. Isel tidak menoleh lagi serta memilih untuk meninggalkan tempat itu secepatnya.

Pesta masih berlangsung di aula utama dan Isel memilih keluar dari rumah besar itu untuk mencari rute penyusupan. Sialnya, beberapa tamu kini mulai ada di teras juga. Mereka terlihat berbincang dengan gelas minuman di tangan jadi kemungkinan pidato singkat yang dilakukan Pangeran Kendell dan tunangannya kini telah selesai atau mereka tidak tertarik lagi pada pasangan nasional yang sering sekali berseliweran di layar kaca televisi itu.

Setelah memasang masker untuk menutupi sebagian besar wajahnya serta memastikan sarung tangannya terpasang dengan benar, Isel menyelipkan tubuhnya di sekitar semak mawar yang ditanam membentuk pagar. Dia menghentikan langkah kala mendengar suara desahan. Gadis itu kemudian mengendap ke arah asal suara lalu menyipitkan mata. Ada seorang pemuda dan seorang wanita yang kini tengah bergulung di atas rerumputan. Isel meneguk ludah kala menemukan gaun wanita itu sudah melorot ke bawah hingga membuat bahunya terpapar udara.

Gadis itu sekarang menyentuh bahunya. Bahu itu pernah telanjang beberapa kali lalu tangan-tangan panjang berkuku hitam menelusurinya tanpa henti. Kuku hitam itu seingatnya pernah menancap juga di bahunya hingga meninggalkan bekas luka cakaran yang tidak hilang sampai beberapa hari setelahnya. Mendadak perutnya terasa mual dan isi lambungnya mendadak mengancam hendak keluar sekarang juga. Isel buru-buru menggeleng sambil menarik napas lalu menghelanya lagi. Dia melakukan itu selama beberapa detik hingga rasa mual itu berangsur hilang. Toh, semua kejadian itu hanya masa lalu dan tidak akan terjadi lagi. Sekarang ini, hanya harus fokus pada misinya saja dan keluar dari tempat ini secepatnya.

Isel memutar tubuh lalu berjalan lebih cepat. Matanya mengamati sekeliling untuk memastikan lokasi untuk meletakkan barang. Lokasi yang spesifik diminta oleh kliennya. Sedikit mengherankan karena dia mengetahui detail tempat itu, hanya saja dia tidak memiliki kapasitas untuk mempertanyakan misi yang dijalani. Isel menemukan lokasi yang pas untuk masuk ke lantai dua. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ke lantai atas. Balkon itu juga sepi.

Dia mengulurkan tangan dan meraih celah yang ada di tembok. Mengangkat tubuh dengan cepat sementara jemarinya meremas batu bata yang menonjol di dinding. Isel merangkak cepat di dinding sebelum mengayunkan tubuh dengan cepat dan mendarat di balkon salah satu ruangan di lantai tiga rumah itu. Dia langsung menempelkan punggung di tembok dan mengendap menuju salah satu pintu kaca dengan gorden cokelat muda di dalamnya. Melongokkan kepala ke dalam untuk memindai situasi. Dia sungguh berharap tidak ada orang yang sedang berpelukan atau minum-minum di ruangan ini karena normalnya tamu-tamu pesta akan mencari lokasi sepi untuk sekedar mengobrol atau minum-minum. Untungnya, tidak ada siapa pun di dalam. Mungkin karena tempat ini ada di lantai tiga rumah ini dan tamu berkumpul di lantai bawah, teras, taman atau lantai dua saja.

Jemarinya meraih kenop pintu lalu memutarnya. Mendesah lega saat pintu itu terbuka sedikit. Pintu itu tidak terkunci. Isel mengendap masuk dan sebisa mungkin bergerak tanpa menimbulkan suara. Begitu sampai di dalam, dia menarik napas lega. Tidak seorang pun ada di ruangan itu. Dia menatap sekeliling, mulai mencari lokasi untuk menaruh benda yang dititipkan kliennya. Seingatnya dikatakan kalau target operasinya yaitu ruangan di ujung koridor di lantai tiga, pintu yang memiliki doorlock.

Dia membuka pintu ruangan dan mulai menatap sekeliling. Tidak ada seorang pun di koridor dan dia menemukan kalau ruangan yang dicarinya ada di ujung sana, sekitar lima puluh langkah dari tempat ini. Tidak ada siapa pun di sini, Isel memilih untuk mengendap-endap. Jantungnya berdebar kencang kala mencapai pintu yang dicarinya. Dia memutar kenop pintu, akan tetapi benda itu tidak terbuka.

Isel merogoh tasnya dan mengambil unlock device lalu menyalakannya. Dia memasukkan kabel pendek di lubang usb doorlock yang ada di pintu. Tidak lama setelahnya titik sensor yang awalnya berwarna merah langsung berubah menjadi hijau bersamaan dengan munculnya tanda kalau doorlock berhasil dibuka. Isel menjejalkan kembali unlock device ke dalam tas lalu mendorong pintu hingga terbuka. Gadis itu menahan napas kalau menemukan hanya kegelapan yang menyambut di dalam sana.

Dia lalu berjalan mendekati meja kerja besar yang ada di dekat jendela. Kalau menempatkan sesuatu yang mudah ditemukan sekaligus tidak akan terlihat dalam sekali pencarian maka laci mungkin jadi salah satunya. Dia hanya perlu menaruh benda itu di sana, setelah itu bisa keluar lewat jendela. Setelah itu, hal terakhir yang perlu dilakukannya adalah keluar dari rumah ini lalu misi selesai.

Isel berjongkok dan memilih rak paling bawah. Tangannya dengan cepat menarik rak geser hingga terbuka. Dia lalu membuka tas dan bermaksud menaruh benda yang dibawanya. Namun, Isel belum sempat menaruh benda itu kala suara mirip benda terbanting terdengar dari belakangnya. Sontak suara itu membuatnya berjingkat. Isel menoleh untuk menatap sumber suara. Hanya saja, dia belum sempat melakukan apa pun kala tubuhnya mendadak terdorong ke depan. Sesuatu—atau mungkin seseorang—kini menekan punggungnya hingga membuatnya tersungkur dan kepalanya menabrak meja. Kepalanya berdenyut nyeri, sementara benda yang tadi dipegangnya kini terlepas dari genggaman dan jatuh entah di mana. Dia belum sempat memikirkan hal itu karena sekarang dia buru-buru bangun untuk melihat manusia sialan yang membuatnya nyaris gegar otak.

"Siapa kau?" tanya orang yang barusan membuatnya terjungkal.

Orang itu memiringkan kepala dan mungkin menatapnya. Isel tidak bisa melihat sorot mata orang itu karena ruangan ini minim sekali pasokan cahaya. Namun, dia hanya bisa memperkirakan kalau sosok itu berjenis kelamin lelaki. Dia bisa menilai dari suara dan postur tubuhnya. Isel mengerjap. Dia langsung mengulurkan tangan untuk mengambil pisau buah dari betisnya. Namun, gerakannya kalah cepat. Orang itu sekarang menodongkan pistol. Moncongnya kini tepat berada di keningnya. Isel menahan napas, mendadak ingat Tuhan dan ingin sekali berdoa agar benda bisa meledakkan kepalanya itu mendadak hilang dari muka bumi. Rasanya juga mustahil melawan pistol dengan pisau buah. Lagi-lagi kematian hanya berjarak beberapa inci dari keningnya.

"Kutanya sekali lagi siapa kau?" tanya suara itu bersamaan dengan suara pelatuk yang ditarik.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang