Chapter 38. Latvian Gambit (Part 7)

69 25 0
                                    


Ben berlari tanpa arah, hanya saja dari caranya mencari rute yang tidak terlalu banyak lawan berjaga sepertinya orang ini sangat tahu istana ini. Hal ini membuat Isel mulai memikirkan panggilan 'Yang Mulia' yang dilontarkan pada pemuda bersurai putih itu. Panggilan semacam itu hanya ditujukan pada keluarga kerajaan atau bangsawan tingkat tinggi yang masih ada pertalian darah dengan keluarga kerajaan. Hanya saja, bangsawan macam apa yang menembaki orang-orangnya sendiri dan di istana pula yang mungkin adalah rumahnya—atau minimal dekat dengan kediamannya. Semua pertanyaan itu bermain-main di kepalanya, tetapi dia tidak bisa berpikir lebih banyak karena matanya mulai mengantuk dan rasanya dia semakin lemas saja seiring waktu.

"Sepertinya kita akan susah kalau harus ke mobil, Yang Mulia," ucap Ben dengan napas yang sedikit terengah.

"Ya, kita tinggal lari."

"Kita akan mati sebelum sampai di pinggir kota," tukas Ben lagi.

"Pakai mobilku," kata Isel langsung.

"Di mana?" tanya pemuda itu cepat.

Isel memberikan petunjuk lokasi mobil. Ben dan pemuda itu mengangguk. Pemuda itu bergerak lebih dulu dan mengikuti di belakang. Ben dengan mudah melompati pagar pendek yang membatasi semak tanaman hias padahal Isel masih menempel erat di punggungnya. Sementara itu, suara derap kaki dan senapan terdengar tidak terlalu jauh dari belakang. Jantungnya terus berdebar di dalam dada. Meski dia tidak berlari, kakinya tetap terasa lemas.

Mereka terus bergerak cepat dan langsung masuk ke setiap celah seolah-olah mereka sangat tahu lokasi mobilnya berada dengan sedikit penjelasan.Awalnya dia juga ingin mengatakan kalau mereka sok tahu, tetapi saat akhirnya dia melihat mobilnya dari kejauhan maka Isel mendadak kehilangan kata-kata. Semua kritikan yang tersimpan di benaknya jadi gagal dilontarkan. Setelah Isel memberikan kunci mobilnya, Ben langsung melemparnya ke kursi belakang. Tubuhnya benar-benar dilempar ke atas kursi hingga rasanya seluruh tulangnya nyeri. Pemuda bersurai putih langsung masuk ke mobil dan duduk di sampingnya, sementara Ben mulai menyalakan mesin mobil.

Ben sepertinya langsung menginjak kopling dan menggeser tuas persneling karena tidak membutuhkan waktu lama sampai mobil tersentak maju ke depan. Suara langkah kali dan tembakan terdengar lagi di belakang. Namun, mobil yang mereka tumpangi sama sekali tidak berhenti. Meski begitu, mulai terdengar suara mobil lain mengejar dari belakang. Satu desingan peluru menembus kaca spion hingga membuat Isel tersentak.

Dia langsung melirik pemuda bersurai putih yang kini sudah mendorong pengunci pistolnya setelah mengisi ulang peluru di dalam magasin. Mungkin pistol itu tidak akan terlalu berguna saat ini. Mobil di belakang terlalu banyak dan membutuhkan waktu untuk memecahkan kaca depan. Rasanya mustahil membidik lawan yang ada di dalam kendaraan yang bergerak dalam jarak sejauh itu. Mungkin bazooka lebih berguna untuk menghancurkan mobil di belakang yang masih rajin mengejar.

Saat desingan peluru lain kini tepat mengenai kaca belakang mobil, pemuda bersurai putih itu membuka kaca samping sedikit. Dia kemudian mengarahkan pistol di tangan dan memicingkan satu matanya. Dia mengarahkan bidikan dan tidak lama setelahnya satu tembakan terlepas ke udara. Tidak lama setelahnya aku mendengar suara decit roda bertemu dengan aspal. Suara itu memekakkan telinga hingga membuat Isel langsung menoleh. Matanya langsung membola kala mobil pengejar yang melaju tepat di belakangnya kini tidak lagi bergerak lurus. Satu peluru memelesat lagi dan kini mengenai salah satu ban kendaraan itu. Tidak lama setelahnya mobil itu benar-benar keluar dari jalanan dan menabrak pagar pembatas.

"Nice!" seru pemuda itu sambil kembali mengarahkan pistolnya.

Bidikan kali ini juga mobil yang sasaran kehilangan keseimbangan. Tidak membutuhkan waktu lama sampai beberapa mobil pengejar hilang dari jalanan dan berhenti entah di mana. Fakta ini membuat Isel mendadak bergidik. Jadi monster macam apa yang kini semobil dengannya? Bagaimana bisa dia berpikir untuk menembak ban mobil pengejar dalam kondisi seperti itu? Lalu bagaimana caranya pemuda itu membidik dengan tepat saat sasaran tidak begitu terlihat karena minim cahaya dan ban mobil itu jelas terus bergerak?

Namun, semuanya belum selesai. Tubuhnya nyaris terjungkal kala mobil yang mereka tumpangi bergerak liar. Ben sepertinya membanting kemudi tepat ketika pemburu di belakang memulai satu ronde tembakan panjang. Isel menunduk, melindungi kemungkinan kalau peluru itu akan mengenai bagian belakang kepalanya saat peluru lain membelah kaca spion di bagian kanan. Pemuda bersurai putih itu dengan cepat membalas serangan.

"Siapa mereka, Yang Mulia?" tanya Ben tiba-tiba. "Enslet atau Caragan?"

"Sepertinya dua-duanya," sahutnya cepat.

"Aneh sekali mereka mendadak rukun," tukas Ben.

"Aku juga penasaran Ben, biasanya mereka mirip pasangan suami istri yang sudah saling bosan," kata pemuda itu lagi sambil mengirim serangan.

Caragan? Enslet? Artinya malam ini dirinya dikejar oleh dua kelompok pasukan paling elit di kerajaan ini. Isel meneguk ludah. Memikirkan kalau dirinya akan selamat dari situasi ini rasanya sudah mustahil. Malam ini benar-benar hari sialnya. Setelah terkepung di istana, sekarang dikejar-kejar bukan hanya Caragan, akan tetapi Enslet juga.

"Kita harus segera pergi, lakukan sesuatu!" Pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan perintah.

"Baik."

Jawaban Ben yang terdengar sangat sopan seketika membuat kelopak mata Isel melebar. Sebenarnya mereka siapa? Kenapa sepertinya Ben sangat menghormati lelaki muda haus darah yag duduk di sampingnya ini?

Hanya saja, pertanyaan itu tetap tersimpan di dalam kepalanya karena kesempatan untuk bertanya tidak pernah datang. Apalagi Ben memacu mobilnya lebih cepat hingga memasuki jalanan menuju pusat kota. Isel nyaris terlempar beberapa kali dari kursi karena Ben mengemudi dengan ugal-ugalan. Kali ini isi perutnya benar-benar meleleh keluar kala Ben memutar roda kemudi lalu mobil itu berputar delapan pukuh derajat hingga membuat berbalik arah.

"Kalian pegangan!" katanya.

Isel tidak menjawab karena sekarang dia benar-benar lemas setelah memuntahkan isi perutanya beberapa kali. Napasnya juga mulai memendek saat jantungnya seperti ditimpa ribuan kilo batu bata. Dia sudah pasrah apa pun yang terjadi. Gadis itu mulai menyandarkan kepalanya di atas punggung kursi kala pria itu menarik tuas persneling. Mobil terlonjak saat pedal gas diinjak dengan keras. Mesin mobil itu menyalak dan menderu kala Ben tidak menurunkan kecepatan.

Matanya membola saat mobil itu kini bergerak lurus menuju pengejar yang kini menuju arah berlawanan. Isel buru-buru mencari pegangan karena mulai bisa memperkirakan hal apa yang akan dilakukan oleh Ben. Namun, Isel kalah cepat. Mobil itu langsung tersentak kala bunyi berderak terdengar lebih keras. Bemper depan mobil itu sudah menabrak sedan hitam yang kini terhenti secara paksa. Mobil hitam itu ringsek di bagian depan. Namun, Ben tidak langsung berhenti. Pria itu memundurkan mobilnya dan kembali menekan pedal gas lebih dalam kali ini. Bunyi dua benda yang bertabrakan itu memekakkan telinga.

Napas Isel tersentak keluar kala bagian belakang mobil yang ditumpanginya kini menabrak sedan hitam itu lagi. Sepertinya pemilik sedan sangat marah hingga balas menabrak bagian belakang mobil yang merusak bemper depannya sebagai upaya balas dendam terakhir. Akibatnya, tidak lama setelah mereka tumpangi mendadak oleng dan Ben memutar roda kemudi lebih brutal dari sebelumnya. Decit roda bertemu dengan aspal membelah udara. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlontar ke depan ketika mobil itu kini bergerak zig-zag. Tubuhnya terasa remuk saat mendarat di bagian lantai yang keras dan kepalanya membentur entah apa. Mungkin setelah sekian keberuntungan maka sekarang sudah saatnya untuk benar-benar mati. Desahan terakhir terlepas dari bibirnya sebelum semuanya menggelap.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang