Happy reading
Adinda menatap rumahnya yang sangat berantakan. Dia tidak sempat membereskan rumahnya karena dia harus buru-buru ke kampus.
Adinda menghembuskan napasnya. Rumahnya yang kecil ini begitu sepi. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Adinda harus membanting tulang untuk memenuhi kehidupannya seorang. Mamanya meninggal karena sakit gagal ginjal setahun yang lalu dan ayahnya mengikuti jejak sang mama sekitar sebulan yang lalu karena kecelakaan di tempat kerja.
"Ma,rindu. Yah, rindu. Didin benci sendirian."
Adinda menangis sejadi-jadinya. Biarlah tidak ada juga yang akan mendengar dirinya dan tak ada yang pernah mengerti dirinya sekalipun itu dari keluarga kedua orang tuanya. Dia akan tetap sendiri mungkin selamanya. Siapa yang mau peduli pada anak yatim piatu seperti dirinya?
"Terserah!" Adinda memakai kembali tapinya dan mengambil kameranya yang dia letakkan di dalam kamar. Ya, dia harus berjuang dan tak boleh menyerah pada dunia ini. Dia harus kuat mungkin dia pernah menyerah dan terjatuh tapi untuk saat ini dia harus berjuang menyelesaikan apa yang belum dia selesaikan yaitu pendidikannya yang sempat terhenti.
***
Aku ingin begini aku ingin begitu~
Ingin ini ingin itu banyak sekali~
Dengan serius Andra menonton serial kartun kucing dari masa depan padahal sudah ke sekian kali dia menontonnya. Di paha Andra sudah ada semangkuk bubur kacang hijau yang siap meluncur ke dalam perutnya.
Ardi yang baru saja mengambil segelas air dari dapur menggelengkan kepala melihat tingkah abangnya itu. Bagaimana tidak? Saat ini Andra persis seperti gelandangan.
"Bang! Mandi kenapa sih! Tontonan Abang juga itu apaan kek bocah. Udah tua juga."
"Suka-suka aku lah. Yang nonton kan mataku kok kamu yang repot."
Ardi berdecak namun dia pun ikut bergabung dengan Andra.
"Bang minggu depan aku mau ke rumah melamar dia secara resmi."
"Oh bagus lah. Jangan ditunda-tunda terlalu lama." Andra masih sibuk mengunyah.
"Iya Bang. Abang mau ikut kan?" Ardi melirik Andra.
"Ngapain aku ikut? Kan bukan aku yang lamaran."
"Ck! Ya kan Abang ini keluarga aku. Mbak Aurora sama Mas Kairo juga ikut kok."
"Nggak deh. Aku di rumah aja jaga rumah siapa tau nanti rumah ini malah lari jadi ada aku yang nyegat," ucap Andra ngawur. Jujur Andra sangat malas untuk ikut toh dia tidak terlalu penting kan untuk hadir disana?
"Bang! Ayo dong ikutan."
"Nggak ah. Dibilang aku di rumah aja jaga rumah."
"Arya! Ponsel kamu bunyi tuh dari tadi!" teriak Tari dari lantai atas.
Andra berlari masuk ke kamarnya. Sebuah nomor asing tiba-tiba menghubunginya dan sudah ada dua panggilan tak terjawab dengan nomor yang sama.
"Halo? Ini siapa ya?"
"Selamat siang. Benar ini dengan Bapak Andra?"
"Iya benar saya Andra." Andra mengernyitkan dahinya suara tegas ini benar-benar tak dia kenali.
"Kami dari kepolisian. Bapak selaku wali dari Mbak Adinda bisa datang ke kantor polisi sekarang?"
Adinda?
Lah mahasiswa bimbinganku itu?
"Maaf tapi boleh saya tau ini Adinda siapa ya? Dan kenapa saya harus menjadi walinya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Step By Step (Book I)
General FictionCERITA MAINSTREAM Jika soal berpacaran dengan tegas Andra akan mengatakan tidak. Andra lebih memilih bukunya daripada makhluk rewel bernama perempuan. Sampai pada akhirnya Ardian, adiknya meminta ijin padanya untuk menikah lebih dulu.