18

900 87 12
                                    

Happy reading.

Keluarga Om Romi baru saja pulang. Tinggal lah Andra dan Adinda berdua di rumah. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, tak ada obrolan. Andra sibuk dengan laptopnya dan Adinda mencuci piring di belakang rumah. Jangan harap di rumah Adinda ada kitchen sink. Dinda harus berjongkok dan mencuci satu persatu piring lalu menyirami piring tersebut menggunakan air yang ada di ember.

Adinda mendecak, poninya begitu menganggu. Kedua tangannya dipenuhi busa sabun, jika dia menggunakan tangannya untuk membereskan masalah poni maka poninya juga akan ikut berbusa. Ah bodoamat biarkan saja rambutnya seperti singa yang penting piring yang membludak ini selesai, pikir Adinda.

"Eh-eh ayam!" ternyata Andra sudah berdiri di depan pintu  dan hal itu membuat Adinda terkejut. Lagian untuk apa laki-laki itu disitu berdiam diri! Buat kesal saja.

"Udah selesai?"

"Bapak nggak bisa liat? Atau emang piring-piring ini ghoib?"

Sebenarnya Adinda juga sangat kesal dengan keluarga Om Romi terutama istrinya itu. Walaupun Adinda tak mengharapkan dibantu oleh mereka tetapi setidaknya mereka tidak meninggalkan piring kotor sebanyak ini.

Andra melipat ujung celananya dan ikut berjongkok tak jauh dari Adinda.

"Eh Bapak ngapain!"

"Kamu nggak bisa liat? Atau emang kamu pikir saya ghoib?"

Adinda mencebik bibirnya. Andra membalikkan kata-kata yang diucapkannya tadi. Andra ikut membantu Adinda mencuci piring.

"Saya tidak semanja yang kamu pikirkan. Kalau mau minta bantu bilang aja."

"Nggak, saya udah biasa sendiri."

"Sendiri tapi suka menangis. Apalagi kamu sudah menangis tersedu-sedu dua kali di depan saya."

"Nggak ada!"

"Ya, terserah lah. Oh ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu selesai cuci piring."

"Nggak bisa sekarang? Harus banget setelah nyuci piring?"

"Nggak." Andra berdiri dengan membawa piring-piring yang sudah bersih ke dalam rumah dan meletakkannya ke tempatnya masing-masing.

Ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan Adinda. Soal tempat tinggal mereka tapi sepertinya istrinya itu tak mau jauh dari rumah peninggalan orang tuanya ini.

Sebenarnya Andra tak merasa risih dengan rumah sederhana milik orang tua Adinda karena orang tua Andra selalu mengajarkan untuk tidak sombong karena suatu hari mereka bisa kapan saja terjatuh dan tak mampu lagi dalam segi ekonomi.

Namun sayangnya, Andra sudah membeli sebuah rumah hasil dari uang tabungannya sejak SMA dulu. Memang tak ada yang tau termasuk keluarganya. Dulu Andra berpikir dia harus membeli rumah karena suatu hari nanti dia tak mungkin terus tinggal bersama kedua orang tuanya walaupun dia belum menikah. Tetapi sekarang berbeda, dia sudah menikah berarti dia tak mungkin tinggal bersama orang tuanya lagi.

Andra memperhatikan satu persatu bingkai foto yang dipajang di dinding ruang tamu. Banyak foto lama disana terbukti foto-foto Adinda dari bayi sampai balita dan disana dia tertawa puas bersama kedua orang tuanya. Tawa yang belum pernah Andra lihat.

"Bapak mau ngomong apa?"

"Duduk dulu. Gausah manggil bapak, saya nggak setua itu."

"Bapak kan dosen saya."

"Ini bukan kampus. Ini rumah, saya su--ami kamu masa manggilnya bapak."

Andra mendehem, lidahnya masih kelu belum terbiasa dengan yang baru dia katakan.

Step By Step (Book I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang