Happy reading.
Surabaya, 26 Mei 2020
Adinda berdeham berulang kali, mencoba mengatur napasnya, menghilang semua kekalutan di dalam pikirannya karena bisa-bisa ia lupa dengan semua bahan presentasi yang sudah dia pelajari dari kemarin.
Pasalnya,yang membuat Adinda semakin merinding disko adalah tak hanya dua dosen penguji yang muncul di layar laptopnya. Tetapi pembimbingnya juga, iya kali ini Andra ikut terjun dalam sidang meja hijaunya.
Laki-laki tampak memakai pakaian formal khas dirinya saat mengajar dan duduk di ruang tamu apartemennya, mungkin.
Adinda mulai mengalihkan pandangannya dari Andra. Dia mencoba memerhatikan dua dosen pengujinya yang membaca atau mungkin mencari kesalahan pada skripsinya.
Bismillah.
"Baik lah, sidang kali ini akan dimulai. Kenapa kamu nggak ambil penelitian kuantitatif saja?"
Jika Adinda mengatakan dia benci dengan hitungan dan statistika pasti dia tidak akan lulus dan gagal wisuda. Ini adalah pertanyaan jebakan, dia harus berusaha untuk mempertahankan pendiriannya dengan selogika mungkin karena kalau dia kalah mungkin dua dosen penguji ini akan mencabik-cabiknya tidak tau kalau Andra. Apakah laki-laki itu juga akan menyerangnya?
"Karena saya ingin tau pandangan pencinta fotografi tentang fotografi sebagai karir bukan jumlah pencinta fotografi."
"Seberapa yakin anda, orang-orang di studio tempat anda penelitian itu pencinta fotografi? Bagaimana jika mereka hanya terpaksa karena tuntutan pekerjaan?" pertanyaan itu bukan dari kedua dosen pengujinya melainkan Andra.
"Saya yakin mereka semua mencintai fotografi, menjadikan hobi sebagai pekerjaan membuat mereka tidak berpikir monoton terbukti dari setiap potretan mereka menghasilkan karya yang luar biasa."
Ketiga dosen termasuk Andra tampak sibuk mencoret. Adinda menggigit bibirnya takut pertanyaan selanjutnya bisa membuatnya membisu.
"Hasil kelulusan kamu akan diumumkan nanti dan segera kerjakan revisi kalau bisa tambah revisi dari jurnal, jangan dari buku terus," kata dosen penguji pertama.
Adinda mengangguk, dia menunggu Andra untuk berbicara mengenai revisi apa yang harus Adinda kerjakan. Tapi sepertinya tak ada komentar, Andra hanya diam dan menyaksikan perbincangan Adinda dengan dosen penguji yang pertama.
"Gimana Pak Imam, Pak Andra? Ada yang masih ingin memberikan saran atau kritik?"
Pak Imam -dosen penguji kedua menggeleng. Beliau sepertinya ingin sidang ini cepat selesai sedangkan Andra, laki-laki itu masih meneliti skripsi Adinda yang sepertinya di print laki-laki itu.
"Dari saya tidak ada, jika pun ada saya akan memberitahunya melalui email," kata Andra.
"Baik, Pak."
"Oh iya Bu Dena dan Pak Imam, saya selaku dosen pembimbing dan suami Adinda berterimakasih berkata Bapak dan Ibu sidang ini terlaksana dengan baik."
Bukan hanya Bu Dena -dosen pembimbing pertama yang terkejut melainkan Adinda juga sama terkejutnya. Secara tidak langsung Andra memperkenalkan dirinya sebagai istri di depan dosen?
"Loh kapan nikahnya, Pak? Kok saya nggak diundang?" tanya Bu Dena penasaran. Pak Imam tampak santai saja dan malah tersenyum. Adinda tebak Pak Imam pasti sudah tau perihal ini. Jadi Andra sudah membocorkan status mereka kemana-mana?
"Sudah sekitar empat bulan yang lalu, Bu. Acaranya juga kecil-kecilan karena kondisi yang tidak memungkinkan sepertinya."
"Iya juga sih. Tapi kok bisa kesemsem sama mahasiswa bimbingan sendiri? Terus Bapak di Inggris lagi lanjut kuliah? Yah banyak cewek-cewek di kampus patah hati ya, Pak." Andra tertawa, keduanya bercerita seakan tak ada Adinda disana. Tetapi ada rasa senang ketika Andra dengan beraninya memperkenalkan Adinda setelah ujian sidang meja hijau ini berakhir. Eh sebentar, ini dia lulus ngggak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Step By Step (Book I)
Ficção GeralCERITA MAINSTREAM Jika soal berpacaran dengan tegas Andra akan mengatakan tidak. Andra lebih memilih bukunya daripada makhluk rewel bernama perempuan. Sampai pada akhirnya Ardian, adiknya meminta ijin padanya untuk menikah lebih dulu.