Happy reading
"Dra, kamu ingatkan pameran Maira bakal diadakan dua minggu lagi?"
Angga masih menyayangkan Andra menolak kesempatan menampilkan hasil karya fotonya di pameran Maira nanti.
"Ingat."
"Terus kenapa kamu nggak ambil kesempatan emas itu aja sih?"
Andra yang tadinya sibuk mengerjakan buku berisikan soal matematika langsung menegakkan kepalanya.
"Kesempatan apaan?"
"Allahu Akbar. Kamu itu lupa apa pura-pura lupa sih Dra? Kesempatan buat nampilin hasil karya fotomu lah di pameran Maira."
Angga memang belum pernah bertemu Maira tapi semenjak dia terjun di dunia fotografer, nama Maira cukup sering dia dengar. Maira dikenal sebagai salah satu fotografer perempuan yang keren dan sering mengadakan pameran di beberapa kota bahkan sampai ke luar negeri.
"Aku yakin sih yang dateng ke pameran Maira itu bukan Cuma orang lokal. Bisa aja karyamu dilihat sama orang luar negeri."
"Oh," hanya itu yang Andra jawab membuat Angga menggelengkan kepalanya. Andra melanjutkan kegiatannya. Kepala Andra masih pusing memikirkan bagaimana cara dia bisa mendapatkan informasi mengenai paman Adinda dan mengerjakan soal matematika dapat menghibur dirinya sejenak. Orang pintar mah bebas.
"Aku hanya nggak mau cuma gara-gara itu aku harus berhutang."
"Maksudmu?"
Andra sangat paham. Maira menyukai Andra dan Andra tau akan itu. Bagaimana sikap Maira padanya. Bagaimana Pak Heru memberlakukannya.
Dan Andra tak mau karena kesempatan ini membuat dia harus terkurung untuk balas budi.
"Tenang. Aku pasti datang kok ke pameran Maira."
Angga terperangah. Bukan itu yang dia maksud, Angga hanya ingin melihat karya temannya itu dipajang dan dilihat orang. Rasanya sayang jika Andra hanya menghabiskan waktunya untuk menjadi dosen saja.
Andra tersenyum miring dengan tangannya yang sibuk mencoret-coret rumus. Tak semua dapat dia jelaskan pada Angga karena Andra tau dia akan berdebat dengan Angga dan saat ini Andra sangat lelah untuk berdebat. Lebih baik Andra mengatakan sedikit saja ya walaupun dia tau itu percuma karena Angga tak akan mengerti.
***
Andra terbangun dari tidurnya dan ternyata cahaya matahari belum terlihat. Andra mengecek jam dan masih tengah malam. Daripada harus tidur lagi, Andra memilih untuk sholat tahajud saja toh juga masih banyak waktu sebelum masuk subuh. Andra keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang shalat keluarganya. Dia sedikit terkejut saat melihat punggung ayahnya.
Randy ternyata sadar akan kehadiran putranya, dia pun memutar tubuhnya untuk menghadap sang putra.
"Udah bangun?"
"Kalau belum bangun Arya nggak mungkin disini Ayah. Ayah ngapain disini duduk-duduk?"
"Mau main kelereng ya shalat lah. Kamu nggak bisa liat ayah pake sarung?" Andra menganggukkan kepalanya. Percakapannya dan ayahnya memang selalu absurd.
"Mau tahajud bareng?" tanya Randy.
"Boleh, Mama mana Yah?"
"Tidur. Giginya sakit udah keliatan banget nenek-neneknya."
"Ayah juga udah kakek-kakek tuh buktinya udah punya dua cucu si Rean ama si Hara." Randy tertawa. Benar juga tak terasa waktu begitu cepat.
"Kalian kecepatan besarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Step By Step (Book I)
General FictionCERITA MAINSTREAM Jika soal berpacaran dengan tegas Andra akan mengatakan tidak. Andra lebih memilih bukunya daripada makhluk rewel bernama perempuan. Sampai pada akhirnya Ardian, adiknya meminta ijin padanya untuk menikah lebih dulu.