27

994 104 13
                                        

Happy reading

Adinda membanting ponselnya ke kasur. Menghembuskan napas sebal. Memangnya apa yang bisa dia harapkan dari seorang Andra? Merindukannya? Hah! Tidak mungkin!

"Assalamu'alaikum, bagaimana perkembangan bab lima kamu? Bukannya penelitian kamu sudah siap?"

Adinda menganga. Belum juga Adinda menjawab salam, Andra sudah menyerangnya dengan pertanyaan beruntun mengenai skripsinya. Hello! Apakah hidupnya hanya selalu diisi skripsi? Kenapa tidak sekalian saja dirinya menikah dengan skripsi bukan dengan Andra?

"Wa'alaikumsalam. Rencananya hari ini saya mau nyiapin semuanya, Pak," ucap Adinda. Mulut mencebik tak terima.

"Bagus. Saya dapat kabar, sidang meja hijau bulan depan. Jadi saya harap kamu harus bisa kejar bulan depan. Jangan ditunda-tunda lagi."

Siapa juga yang mau nunda? Jelas Adinda ingin cepat tamat. Namun setelah itu dia berpikir, apa yang harus dia lakukan setelah dia lulus kuliah? Bekerja.

"Pak, kalau saya lulus kuliah, Bapak selaku suami saya yang sah di depan Allah dan hukum ngijinan saya buat kerja? Gini-gini juga saya butuh ijin Bapak."

"Soal itu nanti kita ceritakan. Yang penting kamu siapkan itu skripsi kamu, kirim ke saya biar saya cek. Sudah dulu ya, saya masih ada tugas yang harus diselesaikan. Assalamu'alaikum."

Adinda menatap ponselnya. Sesibuk apa Andra memangnya? Sampai menjawab pertanyaannya saja, laki-laki itu tak sempat? Tugas macam apa yang diberikan dosen pada laki-laki itu?

"Ah bodoamat terserah! Mau aku ga dianggap istrinya juga, aku ga peduli! Toh juga udah ijin kan, dia aja tuh yang sok-sokan sibuk." Adinda marah sambil menunjuk-nunjuk ponselnya.

Namun dalam hatinya, Andra semakin berubah. Laki-laki itu seakan sibuk dengan urusannya dan melupakan status mereka. Apa hubungan mereka cuma sampai disini? Jangan-jangan laki-laki itu menemukan perempuan yang cocok untuknya? Lalu meninggalkan Adinda begitu saja.

Suara ketukan pintu merusak lamunan Adinda.

"Dinda, kamu ngapain sayang?"

Suara Bunda Tari entah mengapa membuat hatinya sedikit tenang. Adinda membukakan pintu.

"Nggak ngapa-ngapain Bun. Cuma rebahan aja."

"Ayo makan siang dulu." Adinda mengangguk, dia berjalan di belakang Bunda Tari. Jujur keluarga Andra sangat lah baik begitu juga dengan Ayah Randy tetapi ayah mertuanya itu cukup sibuk dengan urusan kantor jadi hanya Bunda Tari dan Adinda lah yang sering di rumah. Untuk berbicara berdua bersama Ayah Randy, Adinda masih segan. Tak ada topik pembicaraan dengan Ayah Randy.

Adinda sedikit terkejut, ternyata makan siang kali ini tak hanya dirinya Bunda Tari tetapi ada Ayah Randy yang sudah menunggunya. Adinda semakin tak enak dengan ayah mertuanya itu.

"Eh Din. Makan yuk," ajak Ayah Randy.

Adinda hanya mengangguk canggung. Seketika Ayah Randy tertawa, kecanggungan Adinda terlihat sangat jelas.

"Kamu kayak orang baru aja. Udah lah anggap aja Ayah ini Ayahmu. Oh iya kan memang Ayahmu haha."

"Iya, Yah." Bunda Tari menyendokkan nasi ke piring Ayah Randy dan juga ke piring Adinda. Sikap Bunda Tari malah membuat Adinda seperti menantu yang tidak tau diri.

"Udah, Bun. Biar Adinda sendokkin sendiri aja nasinya."

"Hush! Kamu itu anak bunda sama Ayah. Ayah juga udah bilang kan tadi kalau kami ini orang tua kamu, jangan sungkan. Kalau dulu kami punya tiga anak, sekarang itu jadi enam, kamu, Clara dan Kairo."

Step By Step (Book I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang