"Nah, ikutan ini gih!" Disodorkannya selebaran bergambar.
"Wuaahh, ini kan si chef itu. Ya, ampuun, cakep abis," puji Munah, matanya berbinar. Tak henti menjerit layaknya abege zaman now kalau kagum sama junjungannya. Huh.
Sang pemuda melongo, menatap Munah yang histeris.
"Emm, ini ... apa, Ndoro?"
Pria berambut ikal itu menghela napas, "Makanya dibaca dulu!" ujarnya datar, lalu berjalan ke sudut ruangan.
Munah meringis.
"Lomba masak? Oh, jurinya Chef Jun? Wahh." gumam Munah, lalu menjerit lagi.
"Ikutan aja, Nah. Hari minggu itu," teriak si pemuda sembari fokus melempar bulir-bulir kecoklatan ke dalam akuarium.
"Tempatnya di kota tua. Serem ya, Ndoro?" tanya Munah dengan wajah cemas.
"Kota tua tuh sebutan kota lama. Di sana berderet bangunan-bangunan bersejarah peninggalan masa kolonial." Seperti biasa kalau udah bagi-bagi ilmu, wajah bening itu selalu berapi-api. Munah manggut-manggut makin bingung.
"Emm, pokoknya, kamu berasa di Belanda deh kalau ke sana!" terangnya lagi berusaha membuat lawan bicaranya mengerti.
"Oh yaa? Wah, keren banget ini," jerit Munah, akhirnya paham juga.
"Emm, tapi ... kuliner tradisional, apa ya?" gumam Munah, dahinya berkerut. Lagaknya kalau sedang berfikir keras.
"Bikin aja sayur lombok ijo," sahut Ndoro.
"Ahaa, iya ya, bener, Ndoro aja demen, apalagi Chef Jun. Aaahhh."
"Juna, Nah, Ju-na!"
Munah cengar-cengir, dipeluknya erat selembar kertas bergambar chef yang sering mondar-mandir di televisi.
#ceritamunah
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Munah
HumorMengapa memuja kasta jika hakikatnya manusia adalah sama. Kisah Ndoro dan asisten.