24.

27 1 0
                                    

Yeseul memilih untuk duduk di sofa bersama Jekyung sampai gilirannya tiba, karena udara di rooftop begitu menusuk tulang.

"Kau jadi memberikan pelajaran pada Renjun?"

Jekyung yang sedang menikmati gummy bearnya tiba tiba berhenti.

"Hehehe, kau tahu aku tidak seberani itu"

Yeseul tahu pasti akan hal ini.

"Ku pikir kau benar benar akan memarahinya"

"Yaa, aku tidak memarahi sembarang orang. Aku hanya bisa melakukannya pada Jaemin"

"Oooo..kee" Yeseul tidak pernah tahu kalau Jekyung benar benar tidak bisa melakukan apapun kepada Renjun.

"Dia ada di sini. Kau tidak ingin mengajaknya bicara?"

Jekyung menggeleng.

"Yaa, Yeseul-ah bukankah aneh bahwa seseorang yang punya kendali lebih akan sibuk akan perkara poin pelanggaran? Bukankah mereka bisa melakukan apa yang dilakukan orang orang seperti di film film?"

"Mereka punya uang berlebih? Dan lebih dikenal?"

Jekyung mengangguk.

"Ne, mereka bisa menyogok pihak sekolah. Memberikan beberapa hadiah kepada guru dan kepala sekolah. Wae?"

Jekyung terlihat berpikir. Ia sekarang sadar bahwa ia tidak terlalu mengetahui kehidupan Jaemin yang tidak ditampilkan padanya.

"Ani, hanya aneh saja. Aku tidak pernah menyebutkan tentang sekolah, kenapa kau menyangkutkannya?"

"Apakah salah? Kupikir kau membicarakan sekolah karena menyinggung poin pelanggaran"

Jekyung hanya diam saja.

"Apakah ini tentang tadi pagi?" Yeseul mendesak. Baru kemudian Jekyung mengangguk dengan ragu.

"Kenapa anak anak penjurusan ipa selalu serakah.." Jekyung menghela napas. "Mereka pintar, kaya, licik, penghasut, apapun yang mereka inginkan terwujud.." Jekyung menyebutkan per-kata sambil menghitung dengan jarinya.

"Siapa yang kau maksud?" Yeseul tahu Jekyung membicarakan seseorang, bukan secara keseluruhan kelas penjurusan.

Jekyung berdiri.

"Mina sudah selesai. Sepertinya ini giliranmu. Ayoo"

Jekyung keluar dengan masih terbungkus selimut tebal yang langsung berusaha direbut oleh Jaemin setelah ia meletakkan gitarnya.

Sedangkan Yeseul berusaha keras untuk mengingat di bagian mana ia harus memulai intro, terlebih ada Renjun. Renjun sangat perfeksionis sampai kalau marah hanya diam dan tidak merespon apapun. Ini yang membuatnya heran dengan Jekyung yang bisa menyukai Renjun dari segi manapun.

"Oke, siapp semua?"

Yeseul kebagian part bersama dengan Mark, Lucas, dan teman sebangku Mina yang sampai sekarang ia tidak ingat namanya.

Yeseul bersyukur bernyanyi dengan baik kali ini, bagaimanapun ia membenci raut wajah Renjun ketika ada orang yang melakukan kesalahan. Jekyung begitu semangat sampai ia merelakan selimutnya kepada Jaemin saat bertepuk tangan untuk Yeseul.

"Mark, titip Jekyung sampai aku balik.." Jaemin berbisik kepada Mark ketika Yeseul mengambil jaketnya di atas salah satu kursi.

Mark seperti tidak terima seakan ia diberi beban yang begitu berat. Ia mengingat trauma kejadian Jekyung menusuknya dengan pensil di sepanjang lengan.

"Beliin susu stroberi.. jangan sampai dia pegang soju. Kemarin dia udah coba coba buat ambil. Oke"

"Men, ini berat. Kau lupa Jekyung pernah melakukan apa padaku?"

"Shh, tenang. Dia sudah lumayan terkendali sekarang"

Kemudian laju langkah kaki mendekat kepada Yeseul.

"Ayo, aku anter.."

"Ng, ngga usah. Aku bareng Mark saja"

Wajah Mark seperti tidak ingin melakukan apapun selain tidur.

"Haiyah, Gwaenchana. Mark punya tugas penting. Jadi dia tidak pulang"

Mark membelalakkan matanya dan mununjuk wajahnya sendiri.

"Kalau begitu aku naik bus saja. Aku bisa menyuruh Jekyung menemaniku sampai ke halte"

Yeseul mencari cari punggung Jekyung, yang tentu saja sedang berhadapan dengan Renjun. Sepertinya mereka sudah akur karena Renjun terlihat tertawa.

"Aihh, aku bahkan membenci suara tertawanya.." Jaemin menggelengkan kepalanya cepat.

"Ayo, Yeseul-ah. Aku tidak tahan melihatnya lagi" Jaemin memandu Yeseul untuk keluar dari rumahnya.

Jaemin tidak membicarakan apapun di sepanjang jalan jadi ketika Yeseul melihatnya tersenyum saat sampai di depan rumahnya, Yeseul perlu menanyakan suatu hal.

"Jaemin..."

"Ya" Jaemin sudah bersiap untuk berbalik arah ketika Yeseul memanggilnya.

"Ng, aku tidak punya hak untuk mengatakan ini. Tapi ku pikir aku perlu mengatakannya"

"Ada apa?"

"Ini tidak begitu penting, tapi bukankah Jekyung bisa memilih kebahagiannya tersendiri. Maksudku, aku tidak tahu kau berperan besar dalam hidupnya tapi ia berhak untuk mencintai orang yang ia sukai kan"

Jaemin melepas helmnya.

"Dia adikku. Aku berhak mengatur mana yang baik untuknya mana yang tidak"

"Dia bukan adikmu. Dia adalah Jekyung. Hidup sebagai individual, ia punya kendali penuh atas dirinya sendiri"

Jaemin terlihat bingung dibanding kesal.

"Renjun bukanlah orang baik jika kau mau tahu. Dan kau baru saja mengenal Jekyung, dia tidak se-stabil kelihatannya"

"Araa.. araa. Maksudku setidaknya biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri. Aku tahu Renjun bukan orang yang terlihat baik. Tapi mencintai orang dengan cara seperti itu adalah perbuatan buruk, Jaem"

"Maksud kamu?"

"Kamu mencintai Jekyung dengan caramu sendiri, tanpa dia tahu. Menjadikannya milikmu, tanpa sadar. Kamu mengarahkan hidupnya. Tidak menyukai orang yang ia cintai. Apakah aku benar? Apa lagi. Kamu menghancurkan hidupnya dengan dalih melindunginya. Itu yang aku lihat. Aku mengenalmu dan Jekyung belum lama dan aku melihat Jekyung benar benar seperti ranting pohon yang siap patah kapan saja, tanpa kamu. Aku temannya, aku peduli padanya. Dia bahkan tidak punya motivasi untuk hidup"

"Sudah?" Jaemin seperti hanya benar benar memasang tameng pada apapun yang dikatakan Yeseul. Tanpa penolakan tanpa serangan balik

"Sudah. Besok lagi kalau ada yang ingin aku katakan. Akan aku katakan padamu"

"Masuklah. Udara semakin dingin"

Kemudian Jaemin memutar balik motornya. Yeseul seperti kehilangan pijakan setelahnya.

"Paboo, apa yang baru saja aku katakan..."

Yeseul menyesal kemudian. Ia tahu Jaemin pasti melakukannya karena punya alasan. Tapi, Yeseul tidak tahan melihat Jekyung seperti itu. Ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana Jekyung akan hidup jika suatu saat Jaemin pergi dari hidupnya. Sesaat ia akan merasa tidak peduli, tapi sebagai teman ia tahu yang dilakukannya adalah hal benar.

The Goodbye PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang