Harus Mau! (1)

7.4K 1.2K 114
                                    

❀~~~~~~❀

"Pfft--" Aku merasa kalau menahan tawa sekali lagi, aku bisa serangan jantung. Tadi itu hampir saja aku kelepasan tertawa.

Suna-senpai yang melihatku hanya terkekeh kecil. Sepertinya tadi itu memang candaan. Tapi, aku tidak begitu kenal, jadinya canggung yang mau ketawa.

Aku membantu Atsumu-senpai--ralat--maksudku sepeda bobrokku. Atsumu-senpai langsung terduduk ketika sepedaku kusingkirkan dari kakinya. Ia mengaduh kesakitan sambil memijat kaki yang sepertinya amat berharga baginya.

Sementara itu, kedua korban lainnya sudah bisa berdiri tanpa dibantu Suna-senpai. Osamu-senpai menepuk-nepuk jaket merah marunnya. Kita-senpai sepertinya memeriksa apakah tulang belakangnya baik-baik saja atau tidak. Mengingat, yang barusan jatuh ke arahnya itu lebih besar.

Aku tidak akan bertanya kepada Atsumu-senpai apakah ia baik-baik saja atau tidak. Aku kesal karena ia membuat sepedaku ini rusak parah. Sudah rantainya keluar dari jalur, stangnya agak bengkok, remnya blong lagi. Belum lagi pijakan yang tidak sempat kulihat. Tapi ku yakin, itu rusak. Huft...


"Makasih buat sepedanya." Atsumu-senpai menepuk-nepuk bahuku. Dia tampak berantakan sekali, tapi kupikir kadar kerennya masih banyak. Kayaknya kalau dijual masih laku. Buat beli sepeda baru.

Aku cuma mengangguk sebagai jawabannya. Lain kali, aku akan berusaha sebisa mungkin menghindari senpai satu ini. Dan kembarannya.

"Dari mana kamu?" Tanya Suna-senpai kepada biang kerok dari insiden sore ini.

Atsumu-senpai menunjukkan dengan bangga sekresek obat pel, "Hah! Obat pel dan kapur barus seperti yang kapten minta!" Seolah-olah ia baru saja menemukan harta karun yang dicari sampai beratus-ratus episode.

Sudahlah, aku ingin pulang. Diam-diam, aku menuntun sepeda yang babak belur ini keluar dari area parkir sepeda. Semoga aja nggak ada yang nyadar.


"Hei."


Ada yang nepuk bahuku. Entah mengapa, aku sekarang parno sama tepukan bahu. Dengan wajah dibuat senormal mungkin, aku menoleh.

Kita-senpai rupanya.

"Ya?"

Aku, Kita-senpai, dan Atsumu-senpai terletak pada satu garis lurus. Tanpa aba-aba, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tanpa perubahan ekspresi, Kita-senpai mengambil kresek putih dari tangan Atsumu-senpai secepat kilat. Tau-tau, kresek itu sudah di tanganku.


"Ambil ini. Jangan dikembalikan." Tangan kirinya memegang tangan kananku dan yang satu memberi paksa sekresek obat pel dan kapur barus yang barusan dibeli oleh Atsumu-senpai.


"EH?! APA-APAAN INI?! KAPTEN!!" Atsumu-senpai ya pasti menolak keras. Akan tetapi, tangannya yang mau mengambil kembali kresek, ditepis oleh Kita-senpai.

"Aku sudah menduga kalau kamu bakal lupa. Jadi, aku beli obat pel dan kampernya." Kita-senpai menepuk-nepuk tasnya. Menandakan bahwa ada obat pel dan kamper yang di dalamnya. Dari yang kulihat sih, dia mengatakannya seolah bukan masalah besar. Nadanya sama sekali tidak ada peningkatan. Tapi nyesek.

"Iya iya, aku lupa. Tapi kan, aku sudah beli! Kenapa malah dikasih ke...dia?" Atsumu-senpai menunjukku seolah-olah aku adalah pencuri.


"Sebagai ongkos kamu habis pakai sepedanya. Sudahlah, ayo ke gedung latihan, yang lain pasti menunggu." Kita-senpai pergi diikuti Suna-senpai dan Osamu-senpai.


Atsumu-senpai tampak frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sambil berteriak kesal. Aku yang belum seratus persen paham, masih diam di tempat dengan tangan kanan memegang kresek. Tiba-tiba, Atsumu-senpai menoleh dan memberi tatapan tajam ke arahku.

Tentu saja aku terkejut. Apa salahku sampai diberi tatapan sinis begitu?

Atsumu-senpai akhirnya pergi. Akan tetapi, tatapannya tidak lepas dariku. Dia baru berhenti ngelihatin setelah hampir saja kesandung. Baru setelah itu ngumpat sebentar dan ia berlari ke mengejar yang lain sambil meneriakkan sesuatu. Entah ia teriak apa, aku tidak tahu.

Sudah berapa kali aku memutuskan untuk segera pulang dan selalu digagalkan. Kali ini, aku benar-benar akan pulang. Karena kuyakin tidak aman mengendarai sepedaku sendiri, maka aku akhirnya menuntunnya saja. Toh, rumahku dekat, hanya sepelemparan batu dari sekolah.

Yeah, aku selama ini naik sepeda cuma karena ingin saja. Aku jalan kaki dari rumah ke sekolah juga bisa sebenarnya, tapi males.

Harusnya aku belok ke kanan sebentar lagi kalau mau keluar dari area parkir. Tapi aku merasa, ada yang aneh.

Sepedaku terasa berat. Apa bannya kempes ya? Kenapa apes banget sih, sepeda ini?

Akhirnya, aku menunduk sedikit dan memeriksa ban depan dengan tangan kiri. Setelah kucek, biasa aja ini. Mungkin ban belakangnya aja.
















Akhirnya aku menoleh ke belakang.











Ada orang duduk di sadel belakang.

"HWAAAAAA!! KUYANG!!!!"



Aku tentu saja loncat kaget dan pegangan ku langsung kulepas. Harusnya sepeda itu oleng. Tapi, berhubung ada makhluk yang bisa menjaga keseimbangannya, sepedaku kembali berdiri seperti biasa.

Orang itu hanya tertawa.

Woah. Gila.

Aku belum pernah lihat tawa suci seperti ini. Ya ampun, kemana aja aku selama ini. Kenapa aku nggak tau kalau ada kakak kelas tampan nan rupawan seperti dia... Apakah selama ini aku nggak pernah cuci mata sebelum berangkat sekolah?


The Little Red Riding Hood || Inarizaki's ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang