Widia dan Handoko saling lempar pandang saat Feri pamit hendak mengantar Mia berkunjung ke rumah orangtuanya di pagi hari itu. It is too early in the morning. Mentari saja masih malas malasan menampakkan dirinya. Widia dan Handoko yakin ada sesuatu yang terjadi diantara anak dan menantunya itu. Kepulangan Mia terlalu mendadak.
"Tapi kenapa mesti pulang, Sayang? Kamu gak betah di rumah mamah?" Tanya Widia dengan suara serak. Dia baru saja makan rujak cireng saat Feri menghampirinya.
"Betah kok, Mah. Cuman lagi kangen ibu aja." Mia tersenyum manis.
Widia balik menatap Feri tajam." Kamu gak ngapa-ngapain Mia, kan?"
Feri mendelik jengah." Gak lah, Mah. Kita baik-baik aja kok."
Meski ragu, mau tak mau Widia mengikuti kemauan anak menantunya itu.
"Ywdah gpp pulang tapi jangan lama lama ya. Feri juga ikut kan?"
Feri mengangguk." Ya udah, Feri sama Mia berangkat dulu."
Feri berjalan lebih dulu ke mobil untuk membukakan pintu mobil untuk Mia. Tapi Mia mendahuluinya dan membuka pintu mobil itu untuk dirinya sendiri. Feri hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Mia hari ini?
Sepanjang jalan itu mereka terdiam tak saling bicara. Mia yang selalu memandang keluar dan Feri yang terus mencuri pandang padanya. Feri merasa ada yang aneh dengan sikap Mia saat bangun pagi ini. Chuek dan selalu menghindari bertatap mata dengannya. Padahal sebelumnya Mia menghiba permintaan maafnya. Tapi kenapa pagi ini dia seperti marah lagi padanya? Aarrghh... pusing dia begini terus. Kenapa hidupnya jadi serba salah gini sih?
"Lusa aku wisuda. Kamu siap-siap ya ada MUA langganan mamah ke rumah buat dandanin kamu, bajunya juga udah disiapin mamah. Pokoknya kamu terima beres aja."
Mia hanya berdehem. Feri memandang Mia, galau. Sebenarnya Feri enggan berjauhan dengan Mia. Ia selalu takut kalau Mia jauh, hatinya pun ikut menjauh. Tapi apa mau dikata, Mia ingin bertemu keluarganya. Feri ingin menemani tapi Mia enggan ditemani.
Ya sudah lah, anggap aja refresh pikirannya. Siapa tahu saat kembali ke rumah, dia berubah tidak sensitif dan hubungan mereka akan kembali harmonis seperti semula.
"Aku udah naro atmku di dompetmu, paswordnya tanggal pertama kali kita jadian, masih ingat kan?"
"Ga usah. Nanti aku kalap belanja banyak. Di rumahku, orangtuaku masih sanggup bayarin kebutuhan aku." Sindir Mia ketus.
Feri tersenyum miris. Mia masih inget aja sih..
"Beli 2 atau 3 baju ya ga masalah. Asal jangan beli sekodi kayak waktu itu. Mas kan masih punya cicilan hutang rumah," kata Feri mengingatkan. Ia menatap Mia lurus." De, kamu itu udah nikah. Apapun kebutuhan hidup kamu itu tanggungjawab mas, bukan ortu kamu lagi. Kalau cuman buat jajan kamu aku masih sanggup. Jangan lagi minta dibayarin sama ortu kamu. Ngerti?"
Mia berdehem," heemmm..,"
"Selama di rumah kamu, jangan manja apalagi cengeng. Malu udah nikah masih nangis aja. Berubah dong.."
Mia hanya menjawabnya dengan deheman. Feri kembali meliriknya, gelisah. Mia terus memandang ke jendela tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Ekor matanya melirik jemari Mia yang berada di atas pahanya. otomatis tangannya bergerak untuk menggenggamnya tapi tangan Mia bergerak lebih dulu untuk membenarkan dandanan rambutnya sehingga tangan Feri menyentuh angin. Feri menarik tangannya balik dan mengelus tengkuknya, malu.
Sesampainya di rumah Mia, pagar rumahnya sudah terbuka seakan kedatangan mereka sudah ditunggu. Kedua orangtua Mia, yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu, tampak duduk di sofa menyambut kedatangan mereka. Mereka bergegas berdiri saat Mia berlari menghampiri mereka .

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Kawin Muda
RomansaGara gara kepergok sedang berduaan dikamar, Feri(21thn) mesti menikahi kekasihnya Mia(18thn). Mereka setuju saja menikah karena mengira rumahtangga mereka akan baik baik saja karena mereka saling mencintai. Namun siapa kira cobaan hidup sebenarnya d...