Dua tahun kemudian ...
"Fisika, sebenarnya saya juga punya perasaan yang sama sepertimu. Kamu mau jadi pac-tidak, kamu mau jadi istri saya?"
"Pak Abi ..." Fisika menutup mulut tak percaya, matanya berkaca-kaca karena terharu. "Saya mau! Saya mau, Pak Abi! Yes i wil-adaw!" Secepat kilat Fisika membuka mata lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamar, cahaya matahari, dan ... Mama. Fisika meringis sambil mengusap-usap pipinya yang pedas. "Ih, sakit tau!"
Mama berkacak pinggang. "Sakit, sakit! kalau nggak begini, kebo perawan macam kamu sampai kiamat pun nggak akan bangun."
"Masa anak sendiri dikatain kebo perawan." Bibir Fisika mengerucut. Perlahan tapi pasti, Fisika mendudukkan diri. Menguap sekali lalu melakukan peregangan. "Jam berapa, Ma?"
"Gih, lihat! Jam sepuluh lewat lima. Cepat bangun! Rapiin kamar, mandi, terus sarapan. Kalau sampai tiga puluh menit belum juga keluar juga, Mama bawain sapu sebagai hadiah." Telunjuk Mama teracung-acung tepat di depan wajah Fisika. "Kuliah jam sebelas, kan? Jangan lenjeh-lenjeh. Banci pengangguran ujung kompleks aja bangunnya lebih pagi dari kamu."
"Iya-iya."
"Jangan iya-iya aja."
Selesai mengomel panjang disertai pelototan tajam, Mama langsung keluar dari kamar Fisika. Mama bilang, beliau akan nunggu di ruang tamu. Kalau sampai Fisika tiga puluh menit belum keluar, maka Fisika akan dihadiahi sapu plus-plus.
Fisika mulai merapikan kamarnya sambil memonyongkan bibir dua centi ke depan. Yah, beginilah rutinitas pagi-ralat-agak siang seorang Fisika Ayuwangi. Dibanguni dengan cara ekstrim; ditepok pipi, dipukul di bokong, atau yang paling ringan diperciki air. Kalau teriakan, beuh, jangan ditanya. Kata Mama, Fisika tidurnya seperti mayat, teriakan maupun lolongan tidak akan mempan.
Dengan langkah ogah-ogahan Fisika mengambil handuk di dalam lemari lalu melangkah ke kamar mandi. Sambil bersenandung lagu dangdut, Fisika membersihkan badannya.
Selesai mandi dan berpakaian, Fisika berias seadanya. Setelah itu Fisika mengambil tas kuliah yang terletak di atas meja. Merasa semua tidak ada yang kurang, Fisika langsung keluar kamar.
Benar saja, Mama sedang berjaga-jaga di ruang tamu. Matanya yang seperti mesin scanner itu mengawasi setiap gerak-gerik langkah Fisika.
"Di bawah tudung saji udah ada nasi goreng. Jangan protes kalau dingin. Salahin kebo yang ada di diri kamu."
"Iya, Ma. Iya."
Fisika meletakkan tas di samping Mama lalu menuju dapur untuk mengambil sarapan dan air minumnya. Kembali dari dapur, Fisika membawa satu nampan di kedua tangan. Fisika ikut bergabung di sebelah Mama sambil menikmati sarapan merangkap makan siang.
"Sudah dua puluh tahun masih aja bangun kesiangan."
"Iya, maap."
"Kata orang zaman dulu, bangun kesiangan itu rezekinya dipatuk ayam. Pantesan kamu sering nggak dapet uang dari tante-ommu."
"Ih, Mama, namanya rezeki itu udah ada yang ngatur. Kalo dikasih, alhamdulillah. Kalo enggak, ya, nggak pa-pa."
"Nih, Mama tambahin lagi, bangun kesiangan itu jodohnya juga dipatuk ayam. Pantesan kamu jomlo sampai sekarang," sindir Mama.
Fisika mengunyah cepat-cepat lalu menelan. Matanya langsung memicing ke samping. "Kata siapa? Lagian, Ma, Ika, tuh, masih kecil. Nggak boleh ngomong jodoh-jodohan dulu."
"Halah! Lagak bener aja." Mama mencibir. "Terus, siapa yang tiap malam sering ngigo panggil 'saya suka Pak Abi. Pak Abi mau jadi pacar saya? Pak Abi mau jadi ayah untuk anak-anak saya?'. Saking kencengnya sampai kedengaran ke kamar Mama. Sampai buat Mama kebangun pula."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]
ChickLit[Tulisan lama dan belum revisi] Sebagai salah satu warga negara Indonesia, Fisika Ayuwangi tentu memiliki kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Dalam hal ini Fisika terapkan untuk menyuarakan...