Bagian Lima Belas

29.8K 2.5K 56
                                    

Ini bukannya Fisika ge-er atau gimana, ya. Tapi, emang sedari tadi Pak Abimanyu tidak berkedip memandangi Fisika. Bibir Pak Abimanyu sedikit terbuka, mata sehitam rambutnya lekat menghujam wajah Fisika, membuat Fisika salah tingkah dan tidak tahu mau melakukan apa.

"Ehmm." Fisika terpaksa berdehem karena sudah mati kutu. "Kenapa, ya?"

"Hah? Oh ..." Pak Abimanyu seperti tertangkap basah berbuat kejahatan tapi berusaha ditutupi sebaik mungkin. "Saya hanya kaget."

Jemari Fisika saling meremas, kaki kirinya bergerak tak beraturan. "Saya ... cantik, ya?"

Tawa Pak Abimanyu pecah. "Tidak pernah sekalipun saya menganggap kamu jelek, Ika. Hanya saja, kali ini terlihat lebih ... saya tidak dapat menjelaskannya. Yang perlu kamu ketahui, dada saya terasa sejuk melihat kamu berhijab."

"Ah, bisa aja." Tadinya, Fisika ingin menonjok bahu Pak Abimanyu. Tapi, lantaran tidak sampai, Fisika hanya bisa menonjok angin. "Saya memang diciptakan seperti itu. Bapak saja terlambat menyadari."

"Bukan terlambat, saya memang sengaja menghindar. Tapi, ternyata kamu memang tidak bisa terus-terusan diabaikan."

Fisika menyampirkan hijab pashminanya yang sempat melorot, ke bahu sebelah kiri. "Bisa aja. Lama-lama saya jadi jeli gara-gara Bapak gombali."

"Saya tidak bermaksud menggombal." Pak Abimanyu melihat jam di pergelangan kirinya. "Kalau kita pergi sekarang, tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa sama sekali, Bapak Sayang."

"Kalau begitu, ayo naik." Pak Abimanyu mengendik ke arah jok belakangnya.

"Siap, Bapak Sayang."

Fisika dan Pak Abimanyu sama-sama tertawa. Saat Fisika mendekat dan agak kesulitan menaiki motor dengan kondisi mengenakan gamis, Pak Abimanyu sigap memberikan tangan untuk dijadikan pegangan. Setelahnya, perlahan tapi pasti, motor mulai melaju membelah jalanan.

Seperti sebelumnya, Fisika menyandarkan kepala di pundak besar nan-kokoh Pak Abimanyu. Sisa perjalanan menuju rumah calon mertua, Fisika lalui dengan hati yang berbunga-bunga.

***

Jujur, Fisika sama sekali tidak tau tentang keluarga Pak Abimanyu. Bahkan, Fisika tidak tau kalau Pak Abimanyu mempunyai satu adik laki-laki yang ternayata kelas XI MA. Gantengnya sama seperti Pak Abimanyu, tingginya-pun hampir sama. Jika menilik pada kedua orang tua Pak Abimanyu, Fisika sekarang tahu dari mana gen ketampanan mereka berasal.

"Silahkan diminum, Nak Fisika. Maaf hanya ini yang bisa kami suguhi. Ibu tidak tahu kalau Mas Abi ke sini sama calon istrinya."

"Eh?" Fisika jadi malu-malu karena dibilang calon istri Pak Abimanyu. "Makasih banyak, Bu. Panggil Ika saja."

"Nak Ika ini kuliah, kan? Kalau Bapak boleh tahu, sudah semester berapa?"

Bahkan, keramahan Pak Abimanyu-pun Fisika sekarang tahu berasal dari mana. Tutur lembut dari Pak Joko dan Bu Endang membuat ketegangan Fisika perlahan mengendur. Mereka menyambut kedatangan Fisika dengan tangan terbuka.

"Semester empat, Pak. Bentar lagi semester lima."

"Oalah. Sudah berapa lama mengenal Mas Abi?"

Jadi ceritanya, Pak Abimanyu dipanggil Mas Abi oleh keluarganya. Terdengar sangat manis, Fisika juga jadi tidak sabar memanggil Pak Abimanyu dengan panggilan serupa.

"Kalau dihitung dari dulu, Mungkin udah empat tahun lebih dikit, Pak. Termasuk kepergian Pak Abi ke Sumba Timur."

"Lama juga ternyata."

"Begitulah." Fisika tersenyum, kemudian perlahan menyesap teh tawar yang disuguhkan. "Ibu sama Bapak asli sini?"

"Bukan, Nak, kami asli Bandung tapi dari dulu Bapak emang tugasnya di sini."

Kembali, Fisika mengangguk. Tidak tahu lagi mau membicarakan apa. Sedangkan Pak Abimanyu, orang yang membawa Fisika ke sini malah pergi bersama adiknya, beberapa belas menit yang lalu. Meninggalkan Fisika sendiri menghadapi orang tuanya Pak Abimanyu.

"Sejauh apa Nak Ika mengenal Mas Abi? Maksud Ibu, apa Nak Ika tau statusnya?"

Fisika tersenyum, lalu menjawab, "Tahu, Bu. Saya mengenal Pak Abi cukup lama. Dengan jangka waktu itu, saya banyak mengetahu hal-hal remeh yang bersangkutan dengan Pak Abi."

"Syukurlah." Ada kelegaan yang Fisika tangkap dari helaan napas ibunya Pak Abimanyu. "Lalu, tanggapan Nak Ika mengenai Mas Abi bagaimana?"

Sebenarnya tentang Fisika yang mengejar-ngejar Pak Abimanyu itu adalah sebuah aib, tapi Fisika harus jujur kepada calon mertuanya.

"Bapak dan Ibu tidak perlu meragukan Ika. Karena sejujurnya di sini Ika-lah yang mengejar Pak Abi. Ika yang suka sama Pak Abi. Kalau Bapak dan Ibu menanyakan tanggapan Ika mengenai Pak Abi, dengan lapang dada Ika menjawab Pak Abi tidak ada minusnya sama sekali di mata Ika."

Kompak dua orang tua di seberang Fisika terkekeh. Pak Joko mengusap lengan istrinya lembut.

"Bu, aku suka yang ini. Jujur sekali," bisik Pak Joko, tapi masih bisa di dengar Fisika. "Mas nemu di mana? Kenapa bisa seberuntung ini?"

"Takdir Allah, Pak. Siapa yang tahu."

Tidak ingin kelihatan salah tingkah, Fisika memilih menundukkan kepala sambil memilin gamisnya. Duh, betapa beruntungnya Fisika bisa membuat calon mertua menyukainya di pertemuan pertama.

"Nak Ika nanti sering-sering main ke sini, ya. Dari cerita yang Ibu dengar, Nak Ika pandai memasak. Mau 'kan masak bareng sama Ibu?"

Fisika mendongak cepat lalu menjawab, "Mau!" Sadar dengan keadaan, Fisika menutup mulutnya. "Eh, maksud saya ... mau, Bu."

Bu Endang tertawa. "Nanti Ibu bilang sama Mas Abi biar sering-sering bawa kamu ke sini."

"Assalamu'alaikum." Pak Abimanyu tiba-tiba muncul, beriringan dengan adiknya, Abimana Arya. "Kenapa dengan Mas?"

"Panjang umur, baru saja disebut." Bu Endang tersenyum. "Ibu bilang, Mas harus sering-sering bawa Nak Ika ke rumah. Biar Ibu ada teman ngobrol."

"Insya Allah." Pak Abimanyu menatap kedua orang tuanya bergantian kemudian terakhir pada Fisika. "Mas Abi antar pulang Ika dulu. Sudah sore, tidak enak sama keluarganya."

"Olalah. Saking ramenya ngobrol kita sampai lupa waktu ya, Pak." Bu Endang bangkit, diiringi Pak Joko. "Senang mengenal, Nak Ika."

Fisika juga ikut bangkit lalu perlahan mendekat, menyalami keduanya dengan senyum yang tak pudar. "Terima kasih. Ika juga senang mengenal keluarga Pak Abi, terutama Bapak dan Ibu."

Selesai Pak Abimanyu berpamitan pada orang tua dan adiknya, kepergian Fisika dan Pak Abimanyu diantar sampai teras depan. Terakhir sebelum meninggalkan pekarangan rumah, Fisika mendapat pelukan dari Bu Endang. Juga bisikan berupa ...

"Kapanpun Mas Abi mau melamar Nak Ika, Ibu dan Bapak selalu siap. Tunggu saja kedatangan kami di rumah, Nak Ika."

Itu kode dan Fisika merona mendengarnya.

***

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang