Semoga nggak bosan bacanya. Aku lagi dikejar deadline teman-teman!
Usai sholat isya, Abimanyu sempat ketiduran tapi terbangun gara-gara mendengar isak tangis Fisia yang terdengar begitu menyayat sekali.
"Kenapa?" Abimanyu mendudukkan diri lalu mengusap wajahnya. "Ada yang sakit?"
"Bukan, Mas. Tapi ..." Bahkan, wajah Fisika sampai memerah. "Itu ..." tunjuknya.
Abimanyu mengikuti, keningnya langsung mengerut bingung. "Laptopnya rusak?"
"Bukaaaan," rengek Fisika. "Lihat, ceweknya nangis 'kan di situ?"
Layar laptop menampilkan seorang perempuan sedang berjongkok dan menangis tersedu-sedu. Yang menjadi pertanyaan, ada apa? Kenapa sampai Fisika ikut-ikutan menangis?
"Menurut Mas tidak ada yang salah. Memang kenapa?"
"Iiiiiih. Ika tuh ikut baper, tau! Ceweknya nangis gara-gara ditolak cowoknya. Padahal ceweknya banyak berjuang ngebantuin memajukan bisnis rumah makan si cowok sampai sukses. Tapi, saat ditanya tentang perasaan, cowoknya malah bilang dia nggak pernah nganggap si cewek itu wanita dan malah melarang si cewek itu untuk jatuh cinta padanya. Jahat banget, kan?!"
"Iya, jahat. Tapi, itu 'kan hanya akting jadi tidak apa-apa."
"Ih, Mas Abi! Walau pun pura-pura tapi tetap aja sakit. Ika sedih banget."
"Sudah-sudah." Abimanyu menepuk-nepuk pundak Fisika. "Nonton dramanya dilanjutkan besok saja. Sekarang lebih baik kita tidur."
"Yaudah," jawab Fisika sambil mengusapi air mata dengan punggung tangannya. "Mas Abi yang matiin laptopnya, Ika mau gosok gigi dulu."
Setelah Abimanyu mengangguki, Fisika berlalu ke kamar mandi. Diam-diam, Abimanyu terkekeh sendiri. Ada-ada saja kelakuan Fisika. Dikira ada yang sakit sampai menangis sebegitu pilunya, tahu-tahu hanya karena sebuah drama. Sulit sekali memahami perasaan perempuan yang lebih muda.
***
Sabtu ini Abimanyu mengajak Fisika ziarah ke makam Rianni. Usai membaca doa-doa, Abimanyu mencabuti rumput liar sementara Fisika menabur bunga setelahnya.
Hanya sekadar berbincang-bincang sedikit setelah itu Abimanyu dan Fisika memutuskan untuk pulang. Bukan ke rumah, lebih tepatnya ke rumah orang tua Fisika.
Dua puluh menit kemudian motor memasuki halaman rumah. Seperti ini rutinitas mereka selama dua bulan lebih. Kalau Sabtu ke rumah orang tua Fisika, maka Minggunya ke rumah orang tua Abimanyu. Begitu pula sebaliknya. Kadang, mereka juga menginap.
"Assalamu'alaikum, Papa ganteng!" teriak Fisika, lalu segera berlari menghampiri usai menyerahkan helm pada Abimanyu. "Ngasih makan adik-adinya Ika, ya?"
"Wa'alaikumsalam, Iya. Semenjak Ika nggak di rumah, Papa yang ambil alih tugas kasih makan adik-adik." Yang dimaksud adik-adik adalah tanaman bunga Mama. "Hari ini menginap?"
Fisika terlihat bergelayut manja pada Papa. Abimanyu mendekat kemudian menyalami. "Tidak, Pa."
"Ya sudah, ayo masuk. Mama bikin bolu ketan di dalam."
Papa dan anak itu memimpin jalan di depan, sementara Abimanyu mengikuti di belakang. Mereka ke ruang tamu, sementara Fisika memisahkan diri menuju dapur untuk menghampiri Mama.
"Gimana kerjaan di sekolah, Bi?" Papa membuka percakapan
"Alhamdulillah baik, Pa."
"Syukurlah kalau begitu." Papa tersenyum. "Fisika gimana? Tidak pembangkang, kan?"
"Sedikit."
Papa tertawa. "Memang benar-benar anak manja itu." Kepalanya menggeleng. "Kalau ada yang salah, negurnya pelan-pelan, ya. Jangan sampai meninggikan suara. Nanti bukannya nurut, Fisika malah jadi pembangkang kalau dibentak."
"Insya Allah, Pa. Abi akan berusaha untuk hal itu."
"Terima kasih," ucap Papa tulus.
Abimanyu tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Fisika dan Mama datang membawa nampan saat percakapan mereka selesai.
Bolu ketan yang masih beruap diletakkan di atas meja begitu pun dengan sirup rasa melon segarnya. Setelah nampan diletakkan di bawah, Fisika bergabung di samping Abimanyu sementara Mama di seberang mereka bersama Papa. Kalau sudah seperti ini, maka obrolan akhir pekan akan dimulai.
"Kuliah gimana, Ka?"
"Lancar, kok. Udah sampai tahap bikin proposal sendiri-sendiri, Ma. Nanti akhir semester enam Ika mulai PKL. Katanya ke desa-desa gitu."
"Berapa lama?" Papa menimpali.
"Satu bulan. Enggak nginap. Kata dosen pembimbing Ika, satu kantor bisa lima orang atau lebih. Doakan aja semoga Ika barengan sama Cici dan Rengganis. Biar ada temennya dan nggak perlu lagi adaptasi sama orang baru."
"Nggak barengan juga nggak apa-apa," tukas Mama. "Kamu 'kan bukan anak kecil lagi. Mau dua satu juga."
"Iya-iya." Fisika langsung cemberut.
"Jangan digitu-gituin mukanya. Nggak ada cantiknya sama sekali."
"Ih, Mama!" Fisika berdecak lalu menoleh pada Abimanyu. "Ika cantik banget 'kan, Mas?"
"Iya," jawab Abimanyu kalem.
"Tuh, dengerin. Mata Mama aja yang siwer."
"Sudah-sudah. Makan bolu aja dulu." Papa selalu menjadi penengah. Beliau lebih dulu mengambil bolu ketan kemudian memakannya. "Jadi, gimana? Udah ketemu judul proposalnya?"
Fisika menggeleng lesu. "Belum. Teman-teman Ika juga gitu, Pa."
"Lho, seharusnya kamu nggak usah turuti mereka dan fokus ke tugas kamu saja."
"Masalahnya." Fisika meneguk sirupnya lebih dulu. "Tugas proposal itu satu kelompoknya terdiri dari delapan orang. Nah, delapan orang itu masing-masing harus bikin proposal dengan judul beda-beda. Nanti kalau udah selesai semua, akan dipilih satu proposal yang paling bagus kemudian dipresentasikan ke depan."
"Kalau begitu, kamu harus bikin yang bagus dong, Ka. Biar bisa dipresentasikan di depan. Biar nilainya bagus."
"Mama, Ika malah ngehindari itu. Kalau terpilih dan presentasi di depan orang banyak, Ika suka gugup sendiri. Materi yang udah dikuasai aja bisa tiba-tiba nge-blank."
"Alasan mahasiswi malas ya gitu," sindir Mama
Fisika mencebikkan bibirnya lalu memilih gelondotan manja di lengan Abimanyu, seolah sedang meminta dibela. Abimanyu hanya tersenyum menanggapi kemudian tangannya tergerak mengusap puncak kepala Fisika dengan sayang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]
ChickLit[Tulisan lama dan belum revisi] Sebagai salah satu warga negara Indonesia, Fisika Ayuwangi tentu memiliki kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Dalam hal ini Fisika terapkan untuk menyuarakan...