Bagian Sebelas

29.1K 2.7K 61
                                    

Malamnya, setelah Fisika selesai memakai skincare routine, ponsel di atas nakas bergetar tanda ada pesan masuk.

Calon Suami: [Terima kasih untuk hari ini ... Ika.]

Fisika melebarkan kelopak mata. Berkali-kali dibaca ulang, tulisannya tetap sama. Pak Abimanyu memanggil dengan nama kecilnya. Wow! Apa sekarang Pak Abimanyu sudah benar-benar terkena pelet Fisika?

Fisika: [Sama-sama, Pak. Apa sih yang enggak buat calon suami. 😚]

Fisika: [Ngomong-ngomong, ada puting beliung apa Bapak manggil nama kecil saya?]

Calon Suami: [Hanya ingin saja. Terlebih kita sudah kenal lama. Hubungan kita juga bukan guru dan murid lagi.]

Fisika: [Baru sadar ya, Pak?]

Fisika: [Kalau bukan guru dan murid, terus apa, dong? Calon istri, kah? Ehehehe ...[

Calon Suami: [Kamu pikirkan sendiri jawabannya. Oh iya, saya ingin memberi tahu besok saya tidak ada di sekolah. Kalau mau mengantar sesuatu, setelah pulang kuliah saja. Saya ada di rumah.]

Calon Suami: [Selamat malam, Ika.]

Saking senangnya Fisika sampai berguling-guling di kasur. Oh, inikah rasanya perasaan terbalas? Fisika tidak bisa mendefinisikan seperti apa suasana hatinya sekarang. Intinya luar biasa bahagia.

Fisika memperbaiki posisi rebahannya lalu mendekap ponsel di dada. Dalam keadaan mata terpejam, sesenyumnya mengembang terlalu lebar. Mungkin mimpi buruk sekali pun tidak akan berani mengusik Fisika malam ini, karena perlahan tapi pasti hubungan mereka mengalami perkembangan lagi. Memang sangat lambat, tapi Fisika yakin hasil akhirnya akan bagus. Karena apa yang ditakdirkan untuknya tidak akan pernah melewatinya.

***

Saat memasuki kelas, Fisika langsung mengambil tempat duduk di antara Cici dan Rengganis. Ia merangkul keduanya agar semakin merapat.

"Kalian harus siap, karena sebentar lagi kalian akan jadi pager ayu buat nikahan gue."

Rengganis memukul belakang kepala Fisika. "Baru juga datang, jangan mulai deh, Ka!"

Alis Fisika langsung menekuk, tangan kanannya mengusap-usap bekas pukulan Rengganis. "Kalo nggak mau percaya, ya nggak pa-pa. Tapi jangan kaget misal gue mulai sebar undangan." Lalu Fisika melipat tangan di dada, dagunya terangkat pongah. "Jangan kaget juga kalo gue ngegantiin posisi yang udah lama ditinggal almarhumah Mbak Rianni."

"Bodo amat! Serah lo, deh." Rengganis memilih mengendikkan bahu acuh tak acuh.

"Kalau lo gimana, Ci? Milih percaya sama gue atau enggak kayak Rengganis?"

"Itu bukan perkara penting untuk sekarang." Cici menyodorkan ponselnya, meminta Fisika melihat apa yang tertera di layar. "Gue udah bilang soal anak FK yang pengin nomor hape lo 'kan, Ka? Nih, dia maksa lagi. Hampir tiap malam dia neror gue semata demi dapat kontak lo doang."

Fisika mengernyitkan kening. "Kenapa nggak bersikap gentle aja, sih? Misal samperin gue terus minta nomornya langsung. Dia itu cowok atau bukan?"

"Nggak tau, ah! Tanyain aja sama orangnya langsung, gue udah bosan ngeladenin."

"Iyuh, gue nggak mau, ya! Dengan gue nanya-nanya ke dia, sama aja gue kayak ngehianatin Pak Abi. Ora iso. Pantang dekat sama laki-laki lain kecuali calon suami seorang."

"SEKAREPMU, MARIMAR! SEKAREPMU!"

***

Rasanya sudah lama sekali Fisika tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Pertama dan terakhir, Fisika datang hanya untuk tahu kediaman Pak Abimanyu. Meminta nomor ponsel sekaligus menanyakan tempat kerjanya. Sekarang Fisika datang dengan alasan berbeda. Intinya lewat jalur undangan dari Pak Abimanyu sendiri.

Pintu dibuka lebar-lebar setelah Fisika mendaratkan bokong di sofa tunggal. Pak Abimanyu beralasan supaya para tetangga tidak berpikir macam-macam pada mereka karena hanya berdua-duaan di dalam rumah.

"Mau minum apa, Ika?"

Fisika tersenyum merona mendengar nama kecilnya keluar dari mulut Pak Abimanyu. Sensasinya berbeda, semacam ada rasa menggelitik di dada. "Emmm ... Pak Abi mau rekomendasiin apa?"

"Air putih, kopi, teh, coklat hangat, atau jus jeruk?"

Wow! Terlalu banyak pilihan. Fisika jadi kikuk sendiri, terlebih Pak Abimanyu mulai aktif dalam obrolan mereka.

"Bagaimana kalau saya mau ... Pak Abi saja?" Meski Fisika dalam keadaan salah tingkah, Fisika tidak akan pernah kehabisan bahan gombalan.

Pak Abimanyu tertawa. "Saya tidak bisa diminum, Ika." Lalu Pak Abimanyu merasa geli dengan ucapannya sendiri. "Ya sudah, kalau begitu air putih saja. Biar saya tidak repot-repot."

Saat Pak Abimanyu berlalu ke dapur, Fisika menggerutu pelan, "Capek-capek ngegombal cuma disuguhi air putih. Pak Abi mah, suka gitu sama calon istrinya sendiri."

Tidak lama kemudian Pak Abimanyu kembali dengan nampan di tangannya, Fisika lekas memasang wajah ceria dengan senyum mengembang lebar sampai ke telinga. "Maaf merepotkan Pak Abi. Janji setelah nikah nanti, saya bersedia direpotin balik."

"Oh, ya?" Pak Abimanyu menatap Fisika seakan tertarik. "Kalau seandainya saya sudah beristri dan nanti kamu juga sudah bersuami, mau saya repoti dengan menjadikanmu sebagai tempat untuk meminjam uang?"

Fisika terbelalak mendengarnya. "Ih, Pak Abi! Maksud saya, saya bersedia direpoti sama Pak Abi kalau Pak Abi itu suami saya. Kalau bukan jadi suami, ya ... ya ... saya pikir-pikir dulu."

"Wah, ternyata tidak bisa, ya. Saya pikir kamu akan menyanggupi apa pun permintaan saya. Ternyata tidak juga. Malah sekarang kamu yang terlihat mendekati saya karena ada maunya."

"Emang benar kok, saya ada maunya. Jadiin Pak Abi suami saya, itu maunya saya. Dan kalau Pak Abi pengin tahu, itu benar-benar murni, tulus, dan jujur dari lubuk hati yang paling dalam. Bukan tipu-tipu, gombal-gombal, ecek-ecek, apa lagi kaleng-kaleng."

"Hm, menarik," ujarnya sambil manggut-manggut.

"Jadi, gimana, Pak?"

"Gimana apanya?"

"Hubungan kita ini apa?"

"Hubungan apanya, Ika?"

Yang tadinya antusias, sekarang berubah down dalam sekejab. Pak Abimanyu pandai sekali menarik-ulur perasaan Fisika. Dikira dengan adanya perubahan ini, Fisika sudah merasa selangkah lebih maju. Namun nyatanya ... Pak Abimanyu hanya mempermainkan hati Fisika. Berlagak tidak mengerti dengan mengatakan hal-hal konyol sedari tadi. Kesannya semua usaha Fisika tidak dianggap dan berakhir jadi sia-sia.

Dengan rasa dongkol luar biasa, Fisika langsung bangkit. "Nih, bekal makannya! Saya pulang dulu. Assalamualaikum!"

"Secepat itu?"

"Tidak terlalu cepat untuk ukuran saya yang tidak ada hubungan apa-apa sama Bapak. Buang-buang waktu Bapak saja." Fisika ingin segera pergi, tapi urung sejenak. "Untuk sementara, saya titip kotak makan dulu. Beberapa hari ke depan saya absen datang ke sekolah."

Kali ini ia benar-benar pergi tanpa menoleh lagi. Wajahnya ditekuk dengan napas yang sedikit memburu, Fisika bahkan tidak menghiraukan panggilan Pak Abimanyu. Ia berada di titik di mana ia merasa capek karena terus-terusan diangkat lalu dijatuhkan. Seakan tidak tahu apa-apa, Pak Abimanyu sekalipun tidak menampakkan penyesalan. Membuat hati Fisika makin dongkol saja.

Baiklah kalau itu maunya. Untuk sekarang Fisika memilih istirahat dulu ngebucin duda. Ia lelah fisik, lelah hati, lelah semua-muanya.

***

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang