Let's play 💃
Malu-malu, Fisika mencuri lirikan pada Pak Abimanyu. Dari balik bulu mata lentiknya Fisika mengamati sambil berdecak kagum dalam hati. Dua tahun lebih sedikit mereka tidak pernah bertemu atau berhubungan, getaran-getaran di dada Fisika masih sama. Bahkan sekarang semakin menggebu-gebu.
"Emmm ... Pak Abi sejak kapan balik ke sini?"
Menyesap kopinya sejenak, Pak Abimanyu kembali mendongak. "Dua hari yang lalu." Senyumnya terulas sempurna. "Terakhir bertemu, Fisika memang sependek ini, ya?"
"Tidak, kok. Ini sudah agak tinggian empat centi. Pak Abi saja yang kurang perhatikan."
"Oh, ya?" Satu alis Pak Abimanyu terangkat, seolah sedang meneliti Fisika. Tentu saja hal itu membuat Fisika tambah deg-degan dan merona tak karuan. "Apa kabar, Fisika? Kuliah 'kan sekarang? Ambil jurusan apa?"
"Alhamdulillah baik dan masih sama seperti dulu." Fisika menutup mulutnya dengan sebelah tangan, malu-malu lagi. "Saya mahasiswi FISIP jurusan Ilmu Administrasi Negara. Pak Abi tidak perlu tahu saya kuliah di mana. Bisa-bisa nanti saya disamperin tiap hari."
Di tengah-tengah ramainya suasana cafe, suara tawa Pak Abimanyu terdengar begitu merdu. Khususnya di telinga Fisika.
"Kenapa jauh sekali? Dari IPA ke Administrasi Negara sama sekali tidak ada sangkut pautnya."
"Saya memang setidaknyambung itu, tapi cinta saya ke Bapak selalu nyambung, kok. Tak pernah putus-putus malah."
Ini benar-benar Fisika Ayuwangi sekali. Mulutnya pandai menggombal, tidak tahu malu, dan masih secentil dulu. "Fisika ... Fisika. Kamu itu tidak ada ubah-ubahnya."
"Ada kok, Pak. Saya tambah cantik, tambah dewasa, tambah pandai memasak, dan yang pasti ... tambah siap untuk dilamar." Fisika melontarkan kode, sebelah matanya mengedip pada Pak Abimanyu. "Pokoknya saya sudah siap lahir batin."
Menghela napas, Pak Abimanyu kembali menyesap kopinya. Kali ini sampai tandas. "Kalau begitu saya doakan semoga ada laki-laki baik yang melamarmu. Melamar Fisika Ayuwangi yang katanya sudah siap dinikahi lahir batin ini."
Senyum di wajah Fisika langsung menghilang, berganti dengan cemberut. "Ih, Bapak, kok, tidak paham kode saya? Ini tuh buat Bapak, bukan buat laki-laki lain."
"Fisika, saya duda."
"Saya tidak keberatan banget!"
Pak Abimanyu melihat jam di pergelangan kirinya, lantas setelah itu beralih menatap Fisika. "Sudah sore. Lebih baik kamu pulang dengan ojek online saja. Punya 'kan aplikasinya?"
"Punya, lah! Tapi, saya mau diantar Bapak."
"Tidak bisa, Fisika. Saya tidak tahu rumah kamu." Merasa kata-katanya akan kembali dijawab, cepat-cepat Pak Abimanyu melanjutkan, "Saya mau cari barang pesanan ibu saya lebih dulu." Pak Abimanyu bangkit. "Senang bertemu kembali, Fisika. Saya pulang duluan. Assalamualaikum."
Bibir Fisika memberengut, tetapi tak urung juga menjawab, "Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, calon suami masa depanku."
Pak Abimanyu sempat menoleh sejenak, hanya untuk menunjukkan gelengan kepala dan senyum gelinya.
Fisika menanggapi itu dengan lambaian tangan dan cengiran lebar. Ekspresi cemberut tadi sudah hilang begitu saja entah ke mana.
***
Melihat Fisika menggeser kursi lalu ikut bergabung untuk sarapan, mata Mama langsung memicing tajam. Merasa aneh sekaligus heran melihat anak gadis satu-satunya bangun pagi dan ikut sarapan bersama.
"Tumben," sindir Mama.
"Tumben?" tanya Fisika heran. "Apanya?"
Mama mengusap-usap dada lalu menoleh pada Papa. "Benar-benar anakmu ini, Pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]
ChickLit[Tulisan lama dan belum revisi] Sebagai salah satu warga negara Indonesia, Fisika Ayuwangi tentu memiliki kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Dalam hal ini Fisika terapkan untuk menyuarakan...