Bagian Dua Belas

29.5K 2.4K 75
                                    

Fisika menyiram tanaman sambil bengong. Saat sedang khusyuk-khusyuknya, tiba-tiba Mama datang menendang bokong Fisika. Tidak keras tapi sukses membuat Fisika nyungsep ke depan.

"Sepagian udah melamun aja. Itu air kenapa dibuang-buang? Kalo tagihan naik bulan ini, Mama tuntut kamu, Ka."

Bukannya bangkit, Fisika malah merubah posisi jadi telentang. "Mama, ih! Nggak peka banget sama perasaan anak. Ika tuh, lagi sedih. Hati Ika lagi berduka."

"Nggak peduli! Cepet masuk ke rumah. Cucian piring numpuk, bentar lagi teman-teman arisan Mama datang."

"Ika nggak mau ngapa-ngapain, Mama. Ika cuma mau merenung sambil berpikir, apa kekurangan Ika sampai dirinya nggak sedikit pun mau melabuhkan hatinya pada Ika."

"Mau Mama kasih tau kekuranganmu?"

Langsung Fisika duduk bersila di atas rumput. Kedua tangannya mengepal erat, kepalanya mengangguk mantap. "Silakan, Kanjeng Mamanda. Biar Ika bisa introspeksi diri."

Mama setengah menunduk, telunjuknya teracung-acung ke depan. "Kamu itu pemalas, banyak makan, muka nggak cantik-cantik amat, tumbuh ke bawah, kebo, aneh, kelakuan bikin tepuk jidat, kalo ngomong suka nggak masuk akal, lam–"

"Stop, stop!" Fisika melambaikan tangan tanda menyerah. "Maap, Ma, Ika batal introspeksi diri. Lebih baik selamanya begini. Ika yakin, suatu saat nanti bakalan ada yang mau menerima keminusan Ika dengan ikhlas."

Setelah itu dengan wajah nelangsa Fisika berlalu dari hadapan Mama. Hari ini memang cerah, tetapi di dalam hatinya lagi mendung. Fisika sedang meratapi nasib yang sengaja menghilang untuk dicari, tapi nyatanya tidak dicari sama sekali. Ngenes sekali.

***

Pulang kuliah Fisika, Cici, dan Rengganis mampir ke restoran Han Gang di GI. Fisika lebih dulu menyerobot buku menu, dengan memesan paket BBQ modeum gogi dan ju mul leok. Cici dan Rengganis dibuat ternganga, bahkan setelah pelayan berlalu membawa catatan pesanan mereka.

"Ka, lo serius mesan sebanyak itu?" tanya Cici syok.

Fisika mengangguk ringan. "Tenang, gue yang bayar. Kalo uangnya nggak cukup, tinggal telpon baginda papanda aja."

"Bukan masalah biaya, Fisika, ini daging, lho. Memangnya bisa ngabisin semua?"

"Kalo gue udah pesan, berarti harus dihabisin, dong! Tentu aja dibantu kalian berdua."

"Gue ogah makan banyak-banyak. Berlemak! Nggak sehat!" Rengganis bergidik. "Kena kolesterol baru tau rasa."

"Serah lo, deh! Pokoknya gue hari ini mau makan daging banyak-banyak. Gue mau mabok daging. Biar lupa sesaat sama rasa kangen dan galau, walaupun hanya sekejab saja."

"Lo kenapa, sih? Dari kemarin uring-uringan nggak jelas." Cici bertanya penasaran. "Gue kasih tau ya, Ka, ayam tetangga gue nunjukin gejala yang sama, besoknya mati."

"Lo nyumpahin gue mati?" Dengan kesal Fisika melempar tisu pada Cici. "Jomlo kayak kalian mana tau kesedihan yang gue alami."

"Denger, Fisika Ayuwangi, jomlo-jomlo gini kita berdua tau banget kalau sumber kesedihan lo itu pasti si duda mantan kakak ipar Rengganis."

"Makanya kalo tau, bantu hibur gue. Hati gue sakit! Jangankan mencari, mengirim pesan pun nggak ada. Kurang menyedihkan apa lagi sih, gue? Pak Abi tuh, kalau tega nggak nanggung-nanggung, ya. Udah ngerampas hati anak perawan orang tanpa permisi, sekarang diabaikan pula tanpa dia peduli."

Bertepatan dengan mengeluarkan uneg-unegnya, pesanan mereka akhirnya datang. Cici dan Rengganis memilih sibuk memanggang daging tanpa menanggapi Fisika. Mereka acuh tak acuh, tidak peduli kalau Fisika menampilkan raut masam yang masamnya melebihi lemon.

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang