Ini POV3 tapi sudut pandangnya Fisika. Nanti ada sudut pandang Pak Abimanyu, tapi menjelang akhir.
Selamat membaca.
Let's play💃
Pak Hendra sedang menjelaskan tentang apa-apa saja yang ada di dalam Hukum Administrasi Negara. Pandangan Fisika fokus ke depan seolah sedang menyimak dengan baik, padahal aslinya pikiran Fisika tidak berada pada tempatnya. Ia senyum-senyum sendiri sambil bertopang dagu, membuat Cici yang berada di sisi kanan dan Rengganis di sisi kiri jadi bergidik ngeri.
"Ka." Cici menoel pundak Fisika.
"Hm?"
"Pak Hendra stand up, ya?"
"Enggak, tuh!" Ia masih nyambung menjawab pertanyaan Cici, tetapi otaknya tidak bisa berhenti memikirkan seseorang yang sudah merampas hatinya sejak dulu. Ugh, bahasa Fisika jadi alay banget!
"Lo mikirin apa sih, Ka?" Cici masih penasaran.
Fisika menegakkan tubuh kemudian menatap Cici lekat-lekat. "Gue lagi happy karena bulan ini penjualan roti papa meningkat."
Kening Cici jadi mengerut. "Nggak biasanya lo peduli. Kemarin-kemarin bodo amat, tuh."
"Ini lain cerita, Ci. Peningkatan penjualan itu gara-gara gue. Padahal niatnya cuma mau bagi-bagi gratis, eh ternyata banyak yang suka. Terus jadi banyak yang mesan. Emang ya, rezeki anak sholehah ngalir terus."
Rengganis yang tadinya tidak tertarik, kini jadi ikut menimbrungi, "Emang lo bagiin ke siapa? Kenapa kita berdua nggak dikasih?"
"Itu ..." Fisika menggaruk dagu, jadi tidak enak sendiri. "Jangan marah, ya. Nanti kalau kalian mau, langsung gue ajak ke pabriknya. Suwer, deh."
Cici dan Rengganis saling tatap kemudian kompak beralih pada Fisika. Keduanya melontarkan pandangan menuntut, meminta penjelasan alih-alih permintaan maaf.
"Iya-iya, gue bakal jelasin." Bibir Fisika mengerucut. "Beberapa hari yang lalu gue bagi-bagi roti gratis di SMK Tunas Bakti. Bukan tanpa sebab, semuanya gue lakuin demi Pak Abi. Biar proses PDKT kami lancar dan direstui semua rekan kerja Pak Abi. Nah, dari situ bapak-bapak dan ibu-ibu yang cicipin roti jadi ketagihan. Banyak yang mesan sama gue. Ya, niat awal cuma mau memikat gurunya, eh malah nyambi jualan juga."
Cici dan Rengganis mendengkus kesal. Mereka tak habis pikir dengan apa yang Fisika lakukan. Kenapa mau-maunya berbuat sejauh itu, padahal baru tahap PDKT. Belum juga pacaran, belum juga nikah. Bisa saja rumah dan pabrik keluarganya nanti Fisika serahkan secara cuma-cuma demi memikat seorang duda yang belum tentu pasti akan membalas perasaannya.
"Ci, lo tau tukang ruqyah, nggak? Gimana kalau kita bawa Fisika ke sana? Lama-lama nih anak makin nggak waras," keluh Rengganis.
"Nanti gue tanya mama, Nis. Benar kata lo, makin lama Fisika makin nggak tertolong lagi. Lebih baik mengobati sedini mungkin ketimbang nanti tambah parah dan jadi bumerang bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya."
Fisika berdecak tidak terima, "Kalian pikir gue kenapa? Kerasukan iblis atau udah stres? Aneh-aneh aja! Gue ngelakuin secara sadar, kok. Lagian kalau diniatkan sedekah, semuanya jadi berkah. Lihat sendiri hasilnya, gue bilang penjualan bulan ini jadi meningkat drastis dari pada bulan kemarin."
"Iya, serah lo deh, Ka. Orang bucin selalu benar," cibir Cici dan Rengganis bersamaan.
***
"Fisika, boleh minta tolong?"
"Boleh sekali. Apa itu, Calon Imamku?"
Pak Abimanyu tertawa kecil. Untuk meredam rasa geli, ia mengusap wajah berulang kali kemudian berdehem pelan.
"Sebelum kamu pulang, saya minta tolong panggilkan Bu Siti Yunaningsih di ruang Guru Pengajar Adaptif dan Normatif. Suruh beliau ke sini, ada yang mau saya diskusikan bersama beliau."
"Ada lagi?"
"Itu saja. Terima kasih, Fisika. Maaf merepotkan."
"Bukan masalah besar, Bapak sayang. Kalau gitu saya pamit dulu. Makanannya jangan lupa dihabiskan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan. Bawa motornya jangan ngebut."
"Cieee ... mulai perhatian nih sama saya." Fisika memutar-mutar telunjuk, mencoba menggoda Pak Abimanyu. "Sudah jatuh cinta, Pak?"
Tangan Pak Abimanyu mengibas-ngibas. "Jangan mikir yang aneh-aneh. Ingat pesan saya tadi, sebelum pulang panggilkan Bu Siti."
"Orang serius dibilang aneh. Ya sudahlah ..."
Fisika segera berlalu. Sebelum menutup pintu, Fisika melambaikan tangan kemudian mengedip centil. Tidak lupa Fisika juga meniupkan ciuman jarak jauh lalu membentuk hati dengan jari jempol dan telunjuknya. Untuk kesekian kali Pak Abimanyu tertawa karena ulah Fisika.
***
"Papa dengar dari desas-desus tetangga, beberapa hari yang lalu Ika pulang di antar laki-laki. Siapa dia, Ka?"
Fisika yang fokus nonton sambil nyemil keripik kentang, kini mengalihkan pandangan ke arah papa. Di ruang tamu ini hanya ada mereka berdua. Mama lagi jenguk tetangga yang baru keluar dari rumah sakit setelah melahirkan.
"Siapa dia? Fisika juga nggak tau, Pa."
"Lho, kenapa bisa?"
"Bisalah! Orang hubungan kami nggak jelas, kok."
"Waduh, tidak jelas bagaimana?" Niat sekali Papa mendengarkan keluh-kesah anaknya, sampai ikut duduk lesehan di lantai. "Cerita sama Papa, biar Papa yang menilai dia seperti apa."
Fisika meletakkan toples di dekat paha. Fisika juga memperbaiki posisi duduknya menjadi bersila. "Orangnya coklat manis. Kalau senyum bikin yang lihat merasa adem. Bicara juga nggak pernah kasar ke perempuan. Pokoknya poin keseluruhan plus-plus."
"Papa bukan minta detail fisiknya, tapi mau dengar sikap dia ke kamu."
"Oooo ..." Bibir Fisika membulat, kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti. "Untuk yang satu itu nggak tau deh, Pa. Dulu kami dekat, sekarang juga makin dekat sampai dianterin pulang dan jalan satu kali. Dia perlakuin Ika baik, tapi banyakan Ika yang memulai. Ika juga kasih perhatian lebih besar dari dia. Pokoknya kalau dihitung, hubungan kami itu timpang."
"Nak, Papa beri saran lebih baik berhenti saja. Kasihan kamu. Papa tidak mau kalau anak perempuan Papa satu-satunya jadi menyedihkan hanya karena satu laki-laki."
"Pa." Ia menggenggam tangan Papa erat, kepalanya menggeleng lamat-lamat. "Maaf, sebelum janur kuning melengkung, tidak ada kata menyerah dalam kamus Ika. Pantang pulang tanpa hasil. Masa capek-capek berjuang, menyerah begitu saja di tengah jalan? Nggak bisa begitu, Fergusooo ..."
Papa langsung tergelak. "Kamu persis seperti mama waktu muda. Semangatnya membara. Gigih sekali kalau menginginkan sesuatu. Dulu mama juga ngejar-ngejar Papa. Mama pantang menyerah walau ditolak Papa berkali-kali."
"Ah, yang benar, Pa?" tanya Fisika tidak percaya. Keningnya mengerut kebingungan. Ada perbedaan antara cerita Papa dan mama. Waduh, mana yang benar, nih?
"Benar. Dulu Papa laki-laki yang anti pacaran. Kalau lihat lawan jenis sering menundukkan pandangan. Awalnya Papa baik-baik saja dengan prinsip itu, sampai tiba-tiba mama kamu mengacaukan segalanya. Mulai dari sapa-sapa tidak jelas, ngajak jalan-jalan, sampai nembak Papa di tengah lapangan kampus." Seolah kembali ke masa silam, Papa menggelengkan kepala sambil mengusap pelipis. "Mulanya Papa menolak, tapi lama-kelamaan suka juga. Pesona mamamu tidak bisa diabaikan walaupun sifatnya naudzubillahmindzalik."
Fisika dan Papa sama-sama tertawa. Biasanya Fisika yang sering dikatain punya sifat naudzubillahmindzalik oleh mama, sekarang mama yang dikatain balik oleh papa. Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Fisika tidak lagi ragu dia anak siapa. Sifat gigih, centil, dan bar-barnya emang nurun dari mama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]
ChickLit[Tulisan lama dan belum revisi] Sebagai salah satu warga negara Indonesia, Fisika Ayuwangi tentu memiliki kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Dalam hal ini Fisika terapkan untuk menyuarakan...