Sebentar-sebentar, Fisika mengerucutkan bibir. Sebentar-sebentar lagi, menggigiti telunjuknya sendiri. Sampai Mama yang makan buah sambil nonton sinetron di SSCCTTVV jadi terganggu.
"Kenapa sih, Ka? Sebel Mama lihatnya."
"Ih, Mamaaa ... Ika lagi galau, tau! Bukannya bantu dihibur, malah bilang sebel lihat muka Ika." Bibir Fisika mencebik. "Gini-gini Ika tuh, anak Mama."
"Iya, anak Mama banget yang kelakuannya sering bikin darah tinggi."
Memilih mengabaikan Mama, kini Fisika kembali berkutat dengan pikirannya. Sama seperti tadi, Fisika menggigiti jarinya sendiri. Tiba-tiba Fisika mendapat ide. Fisika segera mendongak, menatap Mama penuh minat.
"Ma, gimana caranya nyariin orang di kota seluas Jakarta ini?"
Mama mengunyah melon lamat-lamat lalu menelannya. "Orangnya tinggal di daerah mana? Jakarta Selatan? Jakarta Timur? Jakarta Barat? Jakarta Ut-"
"Ya kalo Ika tau, Ika nggak bakalan nanya sama Mama." Fisika mendengkus keras. Tidak heran sikap Fisika yang menjengkelkan ini turunan siapa. Sudah pasti jawabannya seratus persen turunan Mama. "Ika tau nama, ciri fisik, jenis kelamin, warna rambut, bahkan sampai bulu hidungnya semua Ika tau. Yang Ika nggak tau itu nomor teleponnya, rumahnya di mana, sama orang tuanya siapa?"
"Emang buat apa, Ka?" tanya Mama penasaran. "Dia pernah ngutang ginjal ya, sama kamu?"
"Bukan ginjal, tapi tulang rusuk." Fisika tersenyum malu-malu. "Ika tulang rusuknya, Ma. Pasti sekarang dia sama bingungnya kayak Ika. Nyari alamat rumah, nomor telepon, juga orang tuanya Ika. Duuuh ... Ika jadi nggak sabar pengin dihalalin."
Mama menatap Fisika datar. "Kamu mabuk ya, Ka? Laki-laki gila mana yang mau sama kamu? Gadis kurang waras terus makannya segentong."
"Mama, ih! Anak sendiri kok, dibully?"
Mama balas mendengkus. "Lagian omongan kamu jelas banget boongnya. Mama tebak, paling kamu yang bucin. Dianya nggak peduli."
Bibir Fisika melengkung ke bawah. "Omongan Mama jahat, tapi juga ... benar banget ..."
"Kasihan anak gadis Mama." Awalnya Mama mengusap-usap puncak kepala Fisika, tetapi lama-kelamaan malah menggantinya dengan cubitan di hidung. "Kerjaanmu cuma mikirin laki-laki, nanti kuliahnya jadi terbengkalai!" Mama juga menjewer kuping Fisika. "Tidur sana! Udah jam sembilan juga, nanti paginya bangun kesiangan lagi."
"Ish! Mama itu mama kandung rasa mama tiri!" Fisika bangkit. Sebelum pergi, Fisika mencium pipi Mama. "Jangan sampai larut malam nontonnya. Papa aja sudah ngorok setelah makan malam tadi."
"Iya-iya. Udah ah, tinggalin Mama sendiri!"
Fisika menggeleng-geleng kepala mendengar nada pengusiran dari Mama. Ya Allah, sebenarnya Mama itu sayang anaknya tidak, sih? Perasaan Fisika kena omel mulu.
***
Selesai mata kuliah pertama, Kewirausahaan, Fisika langsung menyeret Cici dan Rengganis ke kantin. Oh iya, Fisika mempunyai dua teman, Cici dan Rengganis. Kemarin-kemarin Rengganis tidak masuk kuliah karena terkena diare, jadi Fisika hanya bisa memperkenalkan Cici seorang pada para pembaca.
"Mang Udin, seperti biasa, ya! Bakso tiga, es teh tiga!" teriak Fisika. "GPL. Nggak Pakai Lama, oke?!"
"ANF. Ashiap, Neng Fisika!" Mang Udin juga ikut-ikutan berteriak.
Ketiganya memilih meja paling pojok. Karena di situ spot yang paling enak untuk makan sambil mengghibah. Biasalah, namanya juga ciwik.
"Ci, Nis, lo berdua harus bantu gue." Fisika mengepalkan kedua tangan, semangatnya berada di puncak tertinggi sekarang. "Kita harus cari seseorang. Baik itu alamatnya, nomor teleponnya, maupun tempat kerjanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]
ChickLit[Tulisan lama dan belum revisi] Sebagai salah satu warga negara Indonesia, Fisika Ayuwangi tentu memiliki kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Dalam hal ini Fisika terapkan untuk menyuarakan...