Bagian Dua Puluh Dua

27.4K 2.2K 50
                                    

Hal yang paling aku syukuri banget, yaitu besok bisa pulang kampung.

Kalo di tempat kalian gimana?

Sudah lama sekali rasanya Fisika tidak menginjakkan kaki di sekolah ini. Sudah lama juga Fisika tidak melakukan hal aneh ini, membawa bekal makan siang untuk menarik perhatian Pak Abimanyu

Fisika tersenyum pada setiap murid yang berpapasan di koridor. Bahkan ada beberapa yang mengajak Fisika berbicara hanya untuk sekadar menyapa, menanyakan kabar dan mengungkapkan kerinduan mereka pada kakak ajaib kesayangan.

Saat berbelok, Fisika bersitatap dengan Bu Siti yang baru keluar dari ruang BK. Fisika hampir saja pingsan mengingat kejadian terakhir, tapi beruntung Bu Siti orangnya ramah dan sangat bersahabat.

"Lama tidak bertemu. Apa kabar?" tanya Bu Siti, yang kini sudah berhadapan dengan Fisika. "Mau ketemu Pak Abi? Beliau di ruang BK."

"B-baik, Bu. Ah, y-ya ... mau ketemu Pak Abi."

"Rileks, Ka." Bu Siti mengusap lengan Fisika. "Sepertinya ada sesuatu ya di antara kalian? Saya lihat, meski pun kamu tidak ke sekolah tapi aura bahagia kental sekali mengelilingi Pak Abi. Beliau kadang tersenyum sendiri memandangi layar ponsel. Kami para guru sepakat kalau beliau sudah ditaklukkan oleh gadis lincah ini. Oh iya, kamu cantik sekali mengenakan berhijab."

Wajah Fisika memanas. Rasa malu dan deg-degan menguasai. "Uhm ... anggap saja seperti yang dipikirkan Ibu. Dan ... terima kasih banyak. Itu, untuk kejadian terakhir kali, s-saya minta maaf, Bu Siti."

"Saya sudah lupa, kok." Bu Siti tersenyum. "Pokoknya, yang terbaik saja buat kalian berdua. Saya ke ruang guru dulu." Bu Siti berlalu setelah mengusap lembut pipi Fisika.

Rasa lega melingkupi Fisika sekarang, karena Bu Siti telah dengan mudah memaafkan Fisika. Ah, bahagianya ...

Fisika kembali melanjutkan tujuan awalnya yang sempat tertunda tadi. Hanya membutuhkan beberapa langkah, Fisika sudah tiba di depan ruang BK.

Sebelum mengetuk, Fisika merapikan gamis serta hijabnya dulu. Setelah dirasa sudah rapi, barulah Fisika mengayunkan kepalan tangannya ke pintu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Masuk."

Fisika memutar gagang pintu. "Pak Abi," panggilnya kecil.

"Ika?" Pak Abimanyu tertegun, bahkan sampai berdiri. "Kamu ... ke sini?"

"Hehe ... iya." Fisika melangkah mendekati meja dan meletakkan tas tupperware begitu tiba di depan Pak Abimanyu, kemudian duduk di kursi yang tersedia. "Bawa makan siang juga. Belum makan, kan?"

"Belum." Masih tertegun. Bahkan, Pak Abimanyu lekat menatap Fisika tanpa berkedip.

"Kenapa, sih?" Lama-lama Fisika jadi risih dan salah tingkah. Fisika juga meraba-raba wajahnya. "Ada kotoran atau apa?"

Buru-buru Pak Abimanyu menggeleng. Pak Abimanyu juga kembali duduk di kursinya. "Tidak, saya takut salah lihat. Ika maaf, apa boleh saya menyentuh tanganmu?"

Fisika menurut. Diulurkannya tangan ke atas meja lalu menatap Pak Abimanyu terheran-heran. "Buat apa, Pak Abi?"

Awalnya Pak Abimanyu hanya meletakkan telapak tangannya lalu menarik kembali. Tapi untuk yang kedua kalinya, Pak Abimanyu menggenggam erat. Kepalanya yang tadi tertunduk mengamati kini mendongak menatap Fisika, senyum teduh terulas di sana.

"Ini benar-benar nyata."

"Ya emang saya nyata. Pak Abi kenapa?" tanya Fisika bingung.

Tautan tangan perlahan terlepas. Pak Abimanyu memilih menegakkan punggungnya lalu menatap Fisika dengan seraut senyum geli.

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang