Ekstra Part Empat (END)

63.2K 2.7K 86
                                    

Sampai akhir juga. Semoga suka❤️

Kalo nanti-nanti kayaknya bakalan nggak bisa update lagi, ini juga sebenarnya nggak bisa tapi semoga dimaafkan.

Sampai di part terakhir. Terima kasih sudah mengikuti cerita ini❤️

"Mas, kenapa, sih?" Fisika memeluk Abimanyu dari belakang lalu menumpukan dagunya di pundak Abimanyu. "Kok dari tadi diam aja? Emang, Mama ngomong apa? Disindir lagi?"

Abimanyu menggeleng.

"Jangan bohong."

Abimanyu terdiam.

"Ika yakin ada yang nggak beres di sini. Nggak mungkin 'kan muka Mas Abi murung tanpa sebab?"

"Tadi Mama ngasih bolu, coba Ika ambilkan buat Mas." Abimanyu mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sama buatin kopi."

"Nggak mempan, ya!"

"Tapi, Mas benar-benar lapar, Ika."

"Ish! Iya-iya." Fisika langsung keluar dari kamar sambil menggerutu. Abimanyu menghela napas panjang setelahnya.

Tentu saja ada yang tidak beres setelah kepulangan mertuanya tadi. Tapi, Abimanyu tidak ingin memberitahu Fisika dulu. Biarkan masalah ini dipikirkannya pelan-pelan dan nanti akan didiskusikan bersama setelah Abimanyu siap untuk bicara pada Fisika.

Saran yang diberikan Mama tadi memang tidak salah juga karena ini untuk kebaikan mereka. Hanya saja, di sini Abimanyu kurang menerima. Tapi, bukan juga Abimanyu menolak. Semuanya hanya perlu waktu untuk dipertimbangkan, setelah mantap barulah mereka memutuskan, karena yang menjalaninya di sini Abimanyu dan Fisika, bukan Mama atau orang lain.

***

"Sendal sepatunya bagus-bagus semua. Mas harus coba, ya. Nanti Ika yang milihnya."

Pasar malam ramai sekali. Berbagai jenis dagangan berjejer di sisi kanan dan kiri, mulai dari aksesoris, baju, sepatu dan sendal, perabot memasak, alat elektronik, mainan anak-anak, hingga penjaja macam-macam makanan turut menghiasi suasana pasar malam.

Abimanyu dan Fisika saat ini berada di penjual sendal pria dan wanita. Tautan tangan keduanya tidak terlepas.

"Ini, Mas, yang warnanya coklat. Pasti bagus di kaki Mas Abi." Fisika mengambil sepatu sendal itu, melihat nomornya terlebih dahulu lalu mengangguk puas dan menyerahkannya pada Abimanyu. "Cobain."

Abimanyu menurut. Setelah dicoba, sepatu sendal memang sangat pas di kaki Abimanyu, walau pun terasa kaku karena masih baru. "Bagus."

"Ya sudah, langsung ambil itu aja. Berapa, Bang?"

"Tujuh puluh lima rebu, Neng."

Fisika mengambil uang seratus dari dompet Abimanyu kemudian menyerahkannya. Kembaliannya diserahkan berbarengan dengan kotak sepatu yang sudah terbungkus kresek putih. Setelah itu, keduanya lanjut menjelajahi pasar.

"Mau makan sesuatu, nggak?"

"Boleh."

"Mas Abi mau apa?" Tautan tangan berubah jadi rangkulan, Fisika memiringkan tubuhnya agar bisa melihat wajah Abimanyu. "Yang seger-seger atau yang panas-panas."

"Terserah."

Ekspresi Fisika berubah cemberut. Dengan pandangan kembali fokus ke depan, Fisika menarik Abimanyu. "Ya sudah, Ika aja yang nentuin."

Langkah mereka tertuju pada penjual es potong. Abimanyu melirik Fisika dan masih menemukan kalau ekpresinya tidak berubah. Masih ngambek ternyata.

"Bang, es potongnya tiga."

Alis Abimanyu terangkat. "Kenapa tiga?"

"Buat Ika dua, Mas Abi satu."

Abimanyu tidak menjawab lagi. Setelah dari penjual es potong, Fisika lagi-lagi membawa Abimanyu sesuai keinginannya. Tangan kanan dan kiri Fisika penuh es sementara mulutnya tidak berhenti menggigit dan mengunyah.

"Kemana lagi?"

"Kincir angin," jawab Fisika tak kalah singkat.

Setelah membayar tiket, Abimanyu dan Fisika langsung masuk ke wadah yang mirip sangkar burung tapi muat untuk dua orang. Es potong sudah habis ketika kincir angin mulai bergerak. Abimanyu sibuk menatap Fisika, sementara Fisika sibuk memandangi sekitar dengan raut takjub.

"Ya Allah tingginya, tapi seru banget!"

Tanpa sadar, Abimanyu tersenyum mengamati. Dari dua hari yang lalu Abimanyu hanya berbicara sekenanya saja pada Fisika, bahkan cenderung mendiamkannya. Dampak dari saran sang mertua ternyata segitunya pada Abimanyu dan tiba-tiba, rasa bersalah melingkupi.

"Ika." Yang dipanggil sepertinya tidak sadar. "Fisika."

"Hm?" Fisika menoleh dengan raut tanya. "Sudah mau ngomong duluan dan nggak bad mood lagi?"

Oh, berarti sikap acuh Abimanyu ini dianggap Fisika bad mood. "Iya. Ada yang ingin Mas bicarakan."

Fisika mengangguk. "Silahkan."

"Maafkan Mas. Bukan bermaksud ketus atau mendiamkan Ika, tapi Mas sedang memikirkan sesuatu."

"Apanya? Boleh Ika tau, sekarang? Sebelum-sebelumnya 'kan Mas nggak mau bilang."

"Mama–"

"Sudah Ika duga kalau Mama penyebabnya!"

"Jangan dipotong dulu. Dengarkan." Abimanyu menarik kedua tangan Fisika dan menggenggamnya. "Mama menyuruh menunda kehamilan karena beliau ingin kamu fokus menyelesaikan kuliah. Tapi, rupanya keinginan Mas dan Mama bertolak belakang."

Mata Fisika berkedip lambat.

"Mas tahu kalau itu demi kebaikan kamu, tapi tetap saja rasanya tidak mau. Kamu sendiri tahu kalau Mas tidak muda lagi, dan Mas takut jika terlalu banyak menunda maka kemungkinan dapatnya nanti akan kecil."

Usapan di punggung tangan Abimanyu terasa. "Jadi, ini yang membuat Mas pusing berhari-hari?"

'Iya, tapi sekarang tidak lagi."

"Kenapa?"

"Karena Mas sudah tahu jawabannya." Abimanyu beralih mengusap pipi Fisika. "Kita ikuti saran Mama tapi kita tidak juga menolak seandainya diberi rezeki dari Allah. Dua-duanya sambil jalan saja. Ika tidak apa-apa, kan?"

"Seharusnya jangan dipendam sendiri, Mas. Kan Ika jadi repot dan sibuk nerka-nerka sendiri, apa penyebab Mas seperti ini," decak Fisika. "Mama juga, sering banget bikin Mas Abi serba salah. Emang bener-bener orang tua satu itu."

"Ika, omongannya."

"Iya-iya." Fisika menangkup lengan Abimanyu kemudian balas menggenggam. "Apa pun keputusan Mas, Ika nurut aja. Jangan dipikirin lagi, ya. Kalau ada apa-apa langsung diomongin aja."

"Terima kasih."

"Sama-sama. Sini, peluk dulu istrinya."

Abimanyu tertawa kemudian menuruti. Dekapan begitu erat dan berkali-kali Abimanyu mencium puncak kepala Fisika yang tertutupi hijab. Bertepatan dengan kincir angin berhenti, pelukan terlepas. Abimanyu dan Fisika keluar sambil bergandengan tangan. Senyum keduanya tidak luntur seiring langkah kaki terayun.

*TAMAT*

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang