Bagian Tujuh

32.1K 2.4K 61
                                    

Hari ini Fisika jadi anak pintar. Mulai dari membantu mama memasak, menyapu, juga menyiram tanaman. Saat mama pulang dari pasar, Fisika tergopoh-gopoh menyambut mama di depan pintu, bahkan ikut membawa barang belanjaan ke dapur. Kening mama dibuat mengerut, matanya menyipit melihat ada yang tidak beres dengan anak semata wayangnya.

"Kamu kenapa sih, Ka?" Mama memasang tampang penasaran sembari mengamati Fisika yang membongkar belanjaan lalu memasukkan sayur dan buah ke dalam kulkas. "Benar-benar aneh. Kalau malas seperti biasa Mama nggak ambil pusing, tapi kalau mendadak rajin gini bikin Mama jadi khawatir."

"Mama soudzon mulu sama Ika." Bibir Fisika langsung manyun. "Diliatin aja kenapa, sih? Anak rajin harusnya bersyukur, bukan dikomentarin."

"Iya, bersyukur, tapi banyakan khawatirnya. Kamu nggak kerasukan, kan?"

Selesai memasukkan sayur dan buah, Fisika menutup pintu kulkas lalu melotot protes pada mama. "Jangan ngomong yang aneh-aneh. Ini seratus persen Ika. Bukan orang lain atau arwah lain." Kemudian Fisika menarik kursi dan mendaratkan bokong. Wajahnya memberengut, kedua tangannya terlipat di dada. "Iya, Ika mau jujur kalau Ika rajin karena ada maunya."

"Tuh, kan!" Mama ikut duduk di depan Fisika. "Emang aneh banget kalau kamu mendadak jadi anak baik-baik."

"Dasar mama-mama cerewet!"

"Iya, Mama cerewet ini yang berjuang bawa kamu ke dunia."

"Ya ampun, Mama ... maap-maap, Ika keceplosan. Maap, Ma. Maap."

Kali ini Mama yang melipat tangan di dada lalu membuang muka. "Jujur sama Mama, apa yang buat kamu jadi seperti ini? Jelaskan dalam waktu lima menit. Kalau nggak, nggak akan Mama maafin."

"Iya, Ma. Iya." Fisika mengusap dada. Ya Allah, begini banget punya mama. "Ika tuh, mau nanya cara apa yang ampuh buat menaklukkin laki-laki? Cara yang Mama pakai pas dapetin papa dulu."

"Buat apa?"

"Ika mau denger, syukur-syukur kalau Ika ikut mengamalkannya."

Kali ini Mama mencondongkan muka ke depan, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. "Sebenarnya ini rahasia Mama, tapi karena kamu anak Mama, otomatis ilmu ini harus Mama wariskan ke kamu."

Fisika turut mendekatkan kuping karena penasaran. "Apa itu, Ma?" tanya Fisika tak sabar.

"Dulu Mama mandi air kembang tujuh rupa. Cuci muka pakai tanah liat, terus pasang susuk yang paling manjur di dukun."

Bola mata Fisika membelalak, nyaris keluar. "Serius, Ma?"

"Enggak, lah!" Mama langsung sewot. "Mana mungkin Mama pakai cara sehina dan selicik itu." Selanjutnya beliau mengibas rambut ke belakang. "Waktu itu Mama cukup tebar senyum tipis ke papa dan dia langsung keranjingan ngejar-ngejar Mama."

"Emang secantik apa Mama dulu?" Pertanyaannya terdengar mencibir karena Fisika kesal sudah dibohongi mama. Namun, Fisika penasaran juga dengan cerita orang tuanya dulu.

"Kamu tau selebgram Tasya Farasya?"

Fisika mengangguk antusias. Zaman sekarang tidak ada yang tidak tahu dengan selebgram sultaniah satu itu. Mukanya cantik ke Arab-araban, kulitnya glowing mengkilap bersinar, make up-nya seharga emas berkarat-karat. Terus, koleksi lipstiknya setara orang sekampung, atau mungkin sekabupaten.

"Jadi, muka Mama waktu muda mirip sama Tasya Farasya?"

"Enggak, lah! Mana mungkin!"

"Lho, terus tujuan Mama nyebut dia apa?"

"Enggak ada tujuan apa-apa, kok." Kali ini dengan santai mama mengibas-ngibaskan tangan. "Mending kamu siap-siap pergi kuliah. Ini mau jam sebelas."

Fisika mengusap dada untuk ke sekian kalinya, berharap stok kesabaran masih banyak di sana. "Ilmu untuk memikat laki-lakinya mana, Ma? Ika nggak mau pergi kalau nggak dikasih tau."

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang