Bagian Sepuluh

31.3K 2.6K 97
                                    

Fisika menyusuri koridor sekolah, berniat mengantarkan bekal sarapan untuk Pak Abimanyu seperti biasa, tetapi tiba-tiba ada dua dedek gemes mendekati Fisika. Dilihat dari lambang baju, sepertinya anak kelas XI.

"Kak, bisa main voly, nggak?" tanya dedek gemes berperawakan tinggi kurus, matanya sipit khas Chindo. "Tim kami kurang satu orang, Kakak mau ikut?"

Fisika menggaruk pelipis yang tidak gatal. "Bisa, tapi memangnya nggak apa-apa? Aku 'kan cewek sendiri. Kalian semua cowok."

"Enggak pa-pa, Kak. Kami nggak main kasar, kok," kata dedek gemes satunya lagi. Yang ini kulitnya agak kecoklatan, pas senyum lesung pipinya muncul. "Ayo, Kak! Nanti keburu jam olah raga habis."

Baru mengangguk sekali, Fisika sudah diseret dua dedek gemes itu ke lapangan. Fisika hanya sempat meletakkan tas bekal di bangku sisi lapangan kemudian bergabung dengan pemain lain.

Awalnya Fisika canggung. Namun, lama-kelamaan mulai biasa saja. Bahkan Fisika tidak lagi gugup saat tiba giliran menyervis bola. Fisika juga menunjukkan keahlian smashnya. Berperawakan kecil begini sewaktu SMA Fisika aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler voly. Jadi, jangan kira ia main cuma sekadar pencitraan atau hanya karena tidak enak menolak saja.

Setelah satu jam lebih, permainan berakhir. Para dedek gemes itu menyalami Fisika juga memuji kelincahannya dalam bermain voly. Bahkan mereka mengajak Fisika main lagi di lain waktu.

Setelah selesai Fisika melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan karena jam olah raga mereka hampir berakhir. Sewaktu Fisika berlari menuju bangku sisi lapangan, rupanya di sana sudah ada Pak Abimanyu yang duduk manis menunggu. Di sampingnya ada dua botol air mineral yang berembun.

"Sudah lama di sini, Pak?" tanya Fisika, sementara fokusnya tidak pada Pak Abimanyu. Fisika sibuk mencari tisu di dalam tas untuk mengusap keringat yang membanjir di pelipis.

"Dari setengah jam yang lalu. Sejak kamu tidak sungkan merangkul murid didik saya."

Gerakan Fisika mendadak terhenti, kepalanya lekas mendongak. "Bapak lihat kalau saya berhasil melakukan smash?"

"Hm."

"Saya keren ya, Pak?" Kini Fisika tidak lagi berkeinginan menemukan tisu. "Bapak kagum tidak sama saya?"

"Kagum awalnya, tapi tidak lagi setelah kamu main rangkul sembarangan. Saya tidak bisa terkesan pada permainanmu sampai akhir."

Kening Fisika mengerut. Kenapa sedari tadi yang Fisika tangkap Pak Abimanyu cuma mengulang-ulang bagian rangkul saja? Apa jangan-jangan ...

"Pak Abimanyu cemburu, ya?"

Tidak ada angin tidak ada hujan, Pak Abimanyu tiba-tiba tersedak. Fisika seperti kejatuhan bintang mendengar reaksi itu.

"Hayo ... ngaku sekarang kalau Bapak cemburu?"

Buru-buru Pak Abimanyu mengambil tas bekal dan satu botol air mineral, kemudian bangkit. "Ini saya bawa. Kamu hati-hati pulangnya. Assalamualaikum."

Langkah Pak Abimanyu terkesan lebar dan tergesa-gesa. Fisika yang diam mengamati dibuat makin melonjak kegirangan di tempatnya berdiri.

"Kalau cemburu itu ngaku. Dari pada ditahan-tahan nanti jadi jerawat batu!" teriak Fisika tanpa peduli sekitarnya. "Calon suami masa depan, makanannya dihabiskan. Yang semangat kerjanya buat modal nikahan kita. Waalaikumsalam."

***

"Oh, Mamaku yang cantik, betapa bahagianya hati anakmu ini." Fisika melangkah masuk ke dalam rumah, berjingkrak-jingkrak bahkan berputar-putar. "Dunia terasa lebih berwarna karena cintaku mulai terbalas. Pare yang pahit terasa manis di lidah. Cabe yang pedas terasa bagaikan permen kapas."

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang