Bagian Dua Puluh Empat

27.6K 2.2K 43
                                    

Yang baca lagi apa? Aku lagi nahan lapar sambil update🤣

“Ma, mau Ika pijitin kakinya?”

“Nggak usah.”

“Mau Ika bikinin teh melati?”

“Nggak perlu.”

“Mau Ika beliin bolu kesukaan Mama?”

“Enggak! Allahuakbar, kamu kenapa sih, Ka?!”

Fisika menggaruk pipi salah tingkah. “Ya enggak apa-apa.”

“Mending sana, deh! Temenan atau jalan sama siapa aja bebas asal jangan gangguin Mama nonton.”

“Serius, Ma?!” tanya Fisika berbinar. “Sama Pak Abi boleh?”

“Hm,” ujar Mama acuh. “Jangan lama-lama!”

“Siap empat lima, Mamanda!”  Secepat kilat Fisika mencuri kecupan di pipi Mama kemudian berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian.

***

“Kalau nggak tahan naik, ya mending nggak usah.” Fisika memijit tengkuk Pak Abimanyu. “Biasanya saya paksa dulu baru mau. Eh sekarang, nggak ada angin nggak ada hujan malah ngajakin. Bapak aneh, deh.”

“Ika, air.” Tangan Pak Abimanyu menggapai-gapai. “Mulut saya tidak enak sekali. Kamu berhenti ngomelnya."

“Iya-iya. Nih,” ujar Fisika ketus.
Pak Abimanyu tergesa membuka tutup botol lalu berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa pahit di mulut dan rasa tidak nyaman di tenggorokan pasca muntah.

“Gimana, sudah enakan?” Pak Abimanyu mengangguk lemah. “Ya sudah, kita duduk dulu. Masih pusing juga, kan?”
“Sedikit.”

Fisika langsung menarik Pak Abimanyu ke bangku terdekat. “Mau dipijitin lagi?”

“Tidak usah.” Pak Abimanyu kembali menegak air mineralnya. “Ini pertama kalinya buat saya, Ika.”

“Lha, terus ngapain ngajak saya naik tornado kalau Bapak aja nggak pernah naik?”

“Itu ...” Mengerjap sekali, Pak Abimanyu memalingkan wajah karena merasa malu. “... saya mencoba menyukai apa yang Ika sukai.”

Bukannya senang, Fisika malah meninju lengan Pak Abimanyu kesal. Tidak kencang, tapi tidak juga lembut. “Saya nggak baper, tau! Naik wahana-wahana ekstrim memang kesukaan saya, tapi kalau itu nyiksa buat Bapak, mending nggak usah!”

“Saya tidak apa-apa, Ika. Nanti kalau sering dicoba pasti akan terbiasa.”
“Nggak mau pokoknya!"

“Iya, saya salah. Maaf, Ika, tidak akan lagi.”

Fisika melunak. “Bagus kalau sadar. Ini bukan semata keegoisan saya, tapi demi kebaikan Pak Abi sendiri.”

“Terima kasih,” ucap Pak Abimanyu. Wajah yang tadi pucat kini berangsur-angsur menampilkan rona seperti sedia kala. “Maaf membuat Ika cemas."

“Hm. Syukur situ sadar diri.”

“Iya.” Pak Abimanyu terkekeh lalu mengusap puncak kepala Fisika yang tertutup hijab. “Mau naik wahana lain?”

“Teler begitu masih berani ngajakin?” Fisika mendengkus kemudian bangkit. “Mending kita makan, terus antar saya pulang.”

“Ya sudah. Mau makan di mana?”

“Terserah. Kalau bisa, yang ada menu favorit Pak Abi aja.”

Pak Abimanyu tersenyum lalu mengangguk. Keduanya berjalan bersisian menuju tempat parkir. Tidak ada genggaman tangan atau sejenisnya, Pak Abimanyu sangat melarang adanya skinship berlebihan kecuali di saat-saat tertentu, itupun tidak akan lama. Karena kalau lama, takut khilaf, katanya.

***

Papa terlihat uring-uringan ketika Fisika menyuguhkan kopi. Saat ditanya kenapa? Ternyata Papa kehabisan cara untuk minta maaf sama Mama dan usaha terakhirnya adalah meminta bantuan pada Fisika supaya keduanya berbaikan.

Fisika awalnya menolak untuk membantu, tapi saat diiming-imingi tiket bioskop untuk dua orang, akhirnya Fisika mau juga.

Sementara Papa menunggu di teras belakang, Fisika ke ruang tamu untuk membujuk serta merayu Mama agar mau menemui Papa.

“Kanjeng Mamanda yang cantik nan jelita, hayuk udahan marahnya. Kasihan Baginda Papanda di belakang sana, terlihat ngenes dan amat nelangsa.”

“Bilang Papamu, maaf belum bisa. Mama udah terlanjur kesinggung.”

“Yah ... kalau Papa nyari istri baru, gimana? Papa masih ganteng, lho. Emang Mama mau jadi istri menyedihkan kayak video yang piral-piral di ig dan tiktok itu?”

Mama mendelik tajam. “Silahkan saja! kalau Papamu cari istri baru, Mama juga bisa cari suami baru. Gampang, kan?!”

“Jangan gitu, dong. Nanti Ika sama siapa kalo Mama sama Papa nyari gandengan sendiri-sendiri?”

“Duda pilihan kamu ‘kan ada!”

“Lho-lho, kenapa Pak Abi ikut diseret-seret?” Fisika memilih memejamkan mata, menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. “Oke, stop dulu melanturnya. Baikan dulu, ya? Ika udah bosen lihat drama suami-istri alay macam ini.”

“Ka, mending kamu ke Papamu, terus bilang, kalau mau maaf Mama, inisiatif sendiri, jangan minta bantuan. Nggak gentle banget jadi laki.”

“Iya-iya.” Fisika memutar bola mata malas lalu memilih pergi menghampiri Papa.

“Gimana?” Papa yang tadinya duduk senderan, kini menegakkan punggung. “Mama sudah mau maafin Papa?”

“Dengerin ya, Pa.” Dengan memasang gaya ala Mama, Fisika bertolak pinggang dan menunjuk-nunjuk. “Kalau mau maaf Mama, inisiatif sendiri, jangan minta bantuan. Nggak gentle banget jadi laki.”

“Mamamu kok ribet, Ka. Kemarin-kemarin Papa minta maaf sendiri, malah nggak digubris. Maunya apa, sih?”

“Kemarin sama hari ini beda kali, Pa. Ayo usaha lagi untuk hari ini, Ganteng.”

“Kamu bilangin dulu sama Mama, harus dengan apa Papa meminta maaf? Yang bikin Mama langsung luluh.”

Mau tidak mau, Fisika kembali ke ruang tamu. Menjadi perantara dua orang yang enggan berbicara langsung. Capek sekali sebenarnya, tapi kalo menolak bisa-bisa Fisika dapat dua kutukan sekaligus. Hih, amit-amit Ya Allah.

“Ma,” panggil Fisika. “Kata Papa, harus dengan apa Papa meminta maaf? Yang bikin Mama langsung luluh.”

“Kasih tau Papamu, cari tau sendiri, dong. Gitu aja nanya-nanya. Dasar suami nggak peka!”

Aarrgghhh! Fisika kesal setengah mati, tapi masih saja mau menuruti. Fisika kembali menemui Papa, dengan langkah lemah dan bahu terkulai. Capek sekali jadi pesuruh.

“Pa, kata Mama, cari tahu sendiri, dong. Gitu aja nanya-nanya. Dasar suami nggak peka!”

“Tuh ‘kan salah lagi.” Papa mengusap dadanya. “Bilang sama Mam–”

“Stop!” teriak Fisika yang mulai habis kesabaran. “Udah, Pa, Ika capek. Silahkan perbaiki masalah rumah tangga kalian sendiri tanpa melibatkan Ika. Jangan lagi suruh Ika ini itu. Pegel. Tenggorokan kering. Mulut rasanya berbusa gara-gara kebanyakan ngomong. Pokoknya kalau masih belum baikan, Ika bakalan pergi dari rumah dan nginap di tempatnya Pak Abimanyu. Titik!”

“Astaghfirullah, ancaman macam apa itu, Nak?”

“Ancaman supaya cepat-cepat dinikahin.” Fisika mengibaskan tangan. “Ya sudah, selesaikan masalahnya sekarang. Ika mau ke kamar, capek hati capek body. Mau rebahan aja.”

Setelah uneg-uneg tersalurkan, Fisika melenggang menuju kamar dan langsung merebahkan diri saat bertemu kasur. Memikirkan ancaman tadi, Fisika jadi terkikik sendiri. Mana mungkin Fisika senekat itu. Fisika ini anak baik-baik, walau pun omongannya agak nggak baik.

Jangankan mau nginep di tempat Pak Abimanyu, diusap di pipi aja Fisika deg-degan hampir pingsan.

Kadang, orang yang hebat teori, tapi di praktiknya nol besar. Ya macam Fisika ini, hebat ngomongnya tapi kalo disuruh bertindak ampun-ampunan deh, natap aja dengkul ampe lemes saking gugupnya.

***

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang