Bagian Sembilan Belas

26.4K 2.2K 49
                                    

Aku lagi mikir berat. Gimana ya nanti kalau anak Zayn sama Gigi udah lahir?

Fisika bersin-bersin saat menyirami tanaman bunga Mama. Bukan, bukan karena Fisika alergi terhadap serbuk sari, tapi ini hasil dari menangis. Fisika jadi kena flu. Tenggorokannya sakit dan hidungnya mampet. Nasib, memang.

Selesai dengan rutinitas paginya, Fisika langsung ke dapur membantu Mama. Sudah Fisika putuskan untuk menuruti saran Pak Abimanyu, tidak boleh marah sama Mama dan cukup jadi anak baik. Siapa tahu Mama akan luluh, iya, kan?

"Apa yang ..." Bersin sekali. "... bisa Ika bantu, Ma?"

Di tengah sibuknya mengaduk nasi goreng, Mama menoleh lewat bahu. "Mending kamu ngepel teras. Kalo di sini, bisa-bisa semua masakan Mama tertular virus kamu."

"Ish!" Fisika mengerucutkan bibir sambil mengusap hidungnya berulang kali. "Iya deh."

Perlahan Fisika berbalik meninggalkan dapur. Sebelumnya, Fisika mengambil sapu dan pel lantai yang terletak di belakang pintu dekat kamar mandi, barulah setelah itu Fisika ke teras. Saat mulai menyapu, terdengar bunyi klakson. Fisika langsung mendongak

"Pak Abi!" teriak Fisika, terkejut. Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Fisika langsung melepas sapu dan berlari menghampiri Pak Abimanyu. "Pak Abi, kan? Ya Allah, saya kira bakalan kapok ke sini."

Pak Abimanyu tersenyum. Lebih dulu Pak Abimanyu melepas helm, meletakkannya di kaca spion lalu menyerahkan paper bag yang berisi rantang pada Fisika.

"Ini buat sarapan pagi Ika sama bapak dan ibu. Bukan beli, tapi dari ibu di rumah."

Saat Fisika mengintip sedikit, ternyata isinya sup ayam. "Wuah, terima kasih banyak, calon imam Ika."

"Sama-sama. Oh iya, saya lupa ..." Pak Abimanyu menggeledah ranselnya, kemudian mengeluarkan kantong plastik berwarna putih. "Jangan lupa diminum. Saya sudah menduga kalau Ika akan terkena flu."

Mata Fisika berkedip sekali, kemudian senyumnya langsung mengembang sempurna. "Ya Allah, terima kasih banyak. Boleh peluk, Pak Abi?"

Sebuah gelengan sebagai jawaban. Pak Abimanyu kembali menyampirkan ransel di punggung lalu memasang helm.

"Belum. Nanti saja setelah sah." Fisika yang mendengarnya langsung merona. Pak Abimanyu mengulum senyum melihatnya. "Sampaikan salam buat bapak sama ibu. Maaf tidak mampir. Besok malam saja saya mampirnya."

Fisika mengangguk malu-malu. "Uhm ... Nanti saya sampaikan. Uhm ... sekali lagi makasih, Pak Ab–"

"IKA, CEPAT MASUK!!!" teriak Mama, yang ternyata sudah berdiri di teras rumah sambil bertolak pinggang. Fisika langsung gelagapan.

"Pu-pulang, Pak," ujar Fisika tergagap.

Bukannya menurut, Pak Abimanyu malah memilih memarkirkan motor lalu berjalan menghampiri Mama. Pak Abimanyu mengulurkan tangan, "Assalamu'alakum. Selamat pagi, Bu?"

Dengan wajah yang tidak enak dilihat, Mama ikut mengulurkan tangan. "Wa'alaikumsalam. Pagi."

Di belakang sana, Fisika ketar-ketir sendiri melihat interaksi keduanya.

"Sampaikan salam saya buat bapak. Saya pamit pergi kerja dulu."

"Hm." Mama mengkode Fisika lewat tatapan, supaya mendekat. Saat Fisika sudah berada di samping Mama, tangan Fisika langsung digenggam erat lalu diseret masuk ke dalam rumah. "Jangan lupa tutup pagarnya!" perintah Mama tanpa berbalik.

Fisika terseok-seok dan hanya bisa menoleh dengan wajah tidak enak. Fisika meringis dan menggumamkan maaf tanpa suara pada Pak Abimanyu.

Pak Abimanyu tersenyum menenangkan lalu menggeleng. "Tidak apa-apa," jawabnya, yang juga tanpa suara.

Mengejar Cinta Pak Abimanyu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang