Naufal memperhatikan sikap Alam yang beberapa hari ini terasa beda, ada suatu hal yang jelas berubah dari pria itu. Tak hanya Naufal, Yudi pun merasakan hal yang sama. Sikap Alam yang tidak seperti biasanya, membuat Yudi jadi bingung sendiri.
"Mau pesan apa?" Suara khas seorang wanita yang terdengar tidak bersahabat itu, memecah lamunan Yudi. Dengan cepat, ia menatap wanita cantik yang berada di sebelah Naufal sambil memegang buku menu di tangannya.
"Biasa air mineral aja." Jawab Naufal sambil memainkan game di ponselnya.
"Kalau buat beli air mineral, mending jangan ke sini deh. Capek gue, tiap minggu lihat muka kalian bertiga harus sampai 7 kali bahkan lebih." Kata Alifa, penuh penekanan.
Yudi hanya melirik Naufal sedikit, "Gue pesan capuccino aja, Lif." Ucap Yudi bersuara.
"Okay." Jawab Alifa tidak ingin merespon banyak ucapan Yudi, bahkan wanita cantik itu sama sekali tidak menatap ke arah Yudi.
"Lo sakit, Lam? Nggak biasanya jadi pendiam."
"Gue pesan menu utama yang ada di depan hari ini, totalnya tiga. Minumnya yang kek biasanya gue pesan." Kata Alam, masih sibuk menatap ke arah meja. Menunduk.
"Kok mesannya banyak amat?" Tanya Naufal, sambil menyikut lengan Yudi.
"Duanya buat kalian, gue traktir." Jawab Alam sambil menatap dua sahabatnya dengan tatapan yang berbeda.
***
"Lia." Panggilan itu membuat Aulia menghentikan langkahnya. Beberapa detik setelahnya, Aulia membalikan badan. Ia melihat sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang.
Ia begitu terkejut saat melihat seorang wanita tiba-tiba saja, keluar dari mobil mewah berwarna silver tersebut.
Dengan senyum secerah mentari, wanita bertubuh tinggi dan lumayan berisi itu berlari dan segera memeluk tubuhnya.
Aulia mematung di tempatnya, ia tidak mengenal siapa wanita di depannya, dan kenapa pula wanita itu memeluknya? Tapi anehnya, Aulia merasa nyaman dan tenang berada di dalam pelukan gadis itu.
"Gue kangen banget sama lo, Lia---"
"Maaf--" Aulia mendorong pelan tubuh wanita cantik itu darinya. Sambil menatap bersalah pada wanita itu, "Tapi, kamu siapa ya?" Tanya Aulia sambil menggigit bibir bawahnya.
"Gue Wulan, Lia." Jawab wanita itu sambil menatap mata Aulia lebih dalam.
Wulan? Aulia kembali mengingat nama itu. Nama yang sering ia lihat dalam buku diary hariannya di SMA.
"Aku nggak kenal kamu, maaf." Aulia menatap Wulan bersalah. Alam pasti akan menertawakannya jika saat ini melihat Aulia sedang membodohi dirinya sendiri.
"Oh, berarti gue salah orang. Maaf, ya." Suara Wulan melemah, merasa bersalah dan sedih di saat bersamaan. "Gue yang belum bisa menerima kepergian teman gue, makanya gue selalu berpikir dia masih hidup." Tamba Wulan disusul senyum manis setelahnya.
"Iya, nggak apa-apa." Jawab Aulia ikut tersenyum. Senang rasanya, bisa melihat sahabatnya ada di depan matanya.
"Kalau gue boleh tahu, nama lo siapa?" Tanya Wulan masih mempertahankan senyum manis di bibirnya.
"Aulia." Jawab Aulia tanpa ragu. Nama itu tentunya memancing kecurigaan Wulan, terlihat jelas perubahan di wajah Wulan saat ia memperkenalkan namanya.
"Kamu kenapa kelihatan kaget?" Tanya Aulia memecah kecangguan antara dia dan Wulan.
"Nama lo seriusan Aulia?"
"Iya, emangnya kenapa? Di sini ada banyak orang dengan nama Aulia."
"Nggak apa-apa, nama lo dan nama temen gue persis sama. Apalagi senyuman lo, semakin membuat lo mirip sama dia."
"Aku udah sering dibilang punya wajah yang pasaran. Aku ada urusan, aku tinggal dulu ya. Senang ngobrol sama kamu."
"Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi kan, Lia?"
Auliia mengatur debaran di hatinya. Pertemuannya dengan Wulan yang mendadak entah kenapa membawa rasa haru yang bergejolak. Ia tahu, bahwa teman-temannya pasti sangat merindukannya.
Aulia merasa bersalah. Sangat bersalah, hingga terbesit ide baginya untuk mengaku. Mengaku bahwa ia telah membodohi mereka semua. Namun, Aulia takut bahwa mereka akan marah padanya dan kecewa.
"InsyaAllah." Jawab Aulia terus berjalan dan menatap lurus ke depan.
***
Alam menghentikan langkahnya, ia sudah berusaha keras untuk menghindari Aulia beberapa hari ini.
Namun, selalu ada halangan.
Kini, wanita cantik dengan balutan jilbab abu rokok itu tengah berjalan sambil membawa tumpukan buku.
Alam berdiam diri menonton, kakinya ingin sekali bergerak dan menemui Aulia. Untuk sekedar menyapa wanita itu ataupun membantunya membawa buku-buku tersebut.
Mata Alam dan Aulia bertemu beberapa detik, ketika wanita itu menoleh ke arahnya dengan wajah datar lalu memalingkan wajahnya.
Bruk!
"Lo jangan pakai mata nggak sih?!" Teriakan itu membuat Aulia tersentak kaget.
"Maaf, maaf. Aku nggak sengaja." Jawab Aulia cepat, ia merasa bersalah. Dengan cepat pula ia memunguti buku-buku tersebut.
"Lo nggak apa-apa, Lia?"
Aulia mendongak, menatap pria yang sedang tersenyum padanya sambil membantunya membereskan buku-buku tersebut.
"Gue bawain sebagian." Kata pria itu segera mengambil alih tumpukan buku itu.
"Katanya sebagian, kok malah semunya di kamu sih."
"Nggak apa-apa, gue kuat kok."
"Makasih ya, Ridho."
"Udah dua kali bilang makasih, nggak bosan apa? Bilang apa kek gitu yang romantis."
"Nggak lucu," Aulia menatap sekitar. Merasa aneh, dengan tatapan mata Alam yang terlihat sedang mengintainya dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU ALAM (COMPLETED)
ChickLitAulia bangkit dari kematian. Ia mencoba menemukan kembali kepingan-kepingan dari masa lalunya, bertemu teman-teman dan orang-orang yang sayang padanya. Namun Aulia tidak pernah memikirkan resiko apa yang terjadi dengan keputusannya itu? *** Dunia Al...