48. Awaited day

1.3K 182 112
                                    

Hari demi hari Choco dan Hueningkai lewati dengan penuh penantian. Hari ini usia kandungannya telah memasuki bulan kesembilan, itu artinya bayi-bayi mereka akan segera lahir ke dunia. Cemas? Tentu saja. Choco khawatir bagaimana kalau ternyata persalinannya nanti tidak berjalan lancar?

Ia takut. Bagaimana kalau salah satu bayinya mengalami sesuatu yang buruk? Atau bahkan dirinya yang  harus kehilangan nyawa? Perasaan itu selalu menghantuinya. Membuatnya jadi agak murung akhir-akhir ini. Hueningkai sedang di kantornya, sementara sang ibu baru saja pulang setelah mengantar bubur kacang hijau tadi. Hanya ada ia dan Bi Yanti yang sedang memasak di dapur.

Berjalan keluar kamar, tersenyum begitu melewati kamar yang telah mereka siapkan untuk bayinya kelak. Kamar bernuansa soft pink berhiaskan beberapa boneka lucu di masing-masing sudutnya. Wanita itu memutuskan untuk masuk ke kamar yang cukup luas itu dan membuka jendelanya. Hawa sejuk di pagi hari masih terasa. Sinar matahari begitu hangat menyapa.

Kalau dipikir-pikir suasana pagi seperti ini mengingatkannya pada sekolah. Ia rindu mengajar para siswa, rasanya sudah lama sekali tidak bertemu mereka. Choco juga merindukan aroma buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang selalu ia bawa. Dan Naomi... adik tirinya itu baru saja menghubinginya kemarin bersama ayahnya yang kini menetap di Australia. Mereka bilang akan mengunjungi Choco sebulan lagi.

Ia menunduk, menatap perut besarnya. Mengelusnya singkat.

"Putri-putri Ibu, apa kalian sudah bangun?" lirihnya tersenyum.

Menghela nafas, berat. Perutnya terasa makin memberat. Berdiri agak lama di depan jendela seperti ini saja rasanya melelahkan. Mengusap keringat di pelipisnya dan membenarkan ikat rambutnya. Choco kemudian duduk di salah satu ranjang bayi.

Wanita itu merasa bosan. Hanya makan, tidur, membaca novel, dan menonton film saja setiap hari. Ia merindukan rutinitas lamanya, tetapi walaupun begitu ia melakukannya dengan senang hati sembari menunggu hari persalinannya tiba.

Semua baik-baik saja sampai tiba-tiba perutnya terasa mulas. Awalnya ia mengabaikannya karena memang telah terbiasa morning sick dan hanya terasa sedikit mulas saja. Namun lama-kelamaan sakitnya semakin bertambah hingga membuatnya berteriak. Bi Yanti segera menghampirinya. Choco menangis. Memejamkan matanya dan memegangi perutnya. Ia sudah terjatuh ke lantai.

"Nyonya!"

¤¤¤

"You'll be okay, honey. You can do it! You can!"

"Kamal— aku tidak yakin—"

"Yakinkan dirimu Cho! Kamu pasti bisa melewati operasi ini dengan lancar!"

Hueningkai menggenggam tangan Choco erat. Menatapnya dengan penuh keyakinan. Tersenyum dan mengecup puncak kepalanya yang telah tertutupi surgeon cup.

Air mata membasahi pipi pasangan suami istri berbeda kebangsaan itu. Sungguh, Hueningkai tidak tega membiarkan sang istri terus kesakitan seperti ini. Sejak tadi pagi, wanita itu terus berjuang agar bisa melahirkan dengan normal. Sudah beberapa kali pembukaan dan suntik pacu ia jalani untuk mendorong jabang bayi agar segera keluar dari kandungannya. Namun hasilnya nihil, tetap saja tidak bisa.

Keringat yang mengucur deras dan rasa sakit yang luar biasa membuatnya gemetar. Tubuhnya telah begitu lemah hingga akhirnya ia menyerah dan menyetujui tindakan operasi dilakukan untuk persalinannya demi keselamatan dirinya juga ketiga bayi kembarnya.

"Hear me, you're strong woman! You can face it, okay honey?"

"Remember, our babies are waiting to come out into this world!"

Adult | Hueningkai ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang