Chapter 21 Sakit

11 1 4
                                    

Yandhi masih duduk berdiam di tempat yang sama sedari tadi. Sekarang sudah hampir jam 10 malam. Setelah merenung dengan cukup lama, Yandhi sekarang yakin dengan hatinya.

Pagi ini Yandhi bangun hampir pkl 9 pagi, karena ketika Yandhi kembali ke kamarnya untuk tidur. Ia malah bolak balik di kasurnya dan baru bisa tidur dengan nyenyak saat menjelang larut malam sekali.

Yandhi turun menuju lantai bawah untuk sarapan setelah membasuh mukanya.

"Mom, koq rapi begitu mau kemana ?" Tanya Yandhi saat melihat mommy sudah berdandan dan bersiap hendak pergi bersama Indri.

"Mom mau jenguk anak perempuan pak Ben, masuk rumah sakit tadi malam." Jawab Ibu Liana.

"Apaa ?!" Seru Yandhi. "Maksud mommy, Shireen ?"

"Iya," ibu Liana mengangguk dan sedikit bingung dengan reaksi yang ditunjukkan anaknya tersebut.

"Kamu koq kaget gitu sih, dek ?!" Tukas Indri.

Oh, asal tahu saja. Meskipun Yandhi cerita kepada kakaknya tentang perasaan suka terhadap dua gadis. Yandhi tidak menyebutkan nama kedua gadis itu. Jadi Indri tidak tahu, dua gadis yang dikisahkan adiknya itu kepadanya.

"Mom, aku mau ikut. Tapi aku mandi dulu ya, please tunggu aku !" Yandhi dengan cepat berlari menaiki tangga menuju kamar untuk mandi dan bersiap.

"Adek, awas aja kalau lama ! Tinggalin nih,"  Seru Indri.

"Iyaaa !" Jawab Yandhi.

Selesai dengan urusan mandi dan bersiap-siap. Yandhi segera turun menemui Mommy dan Indri.

"Ya ampun ! Kakak karatan disini," Dumel Indri.

"Bodo !" Acuh Yandhi segera menyusul Mommy keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.

"Wei !" Kesal Indri. "Siapa yang buat kita baru berangkat sekarang, huh ?!"

"Sudah kakak, jangan ribut. Ayo berangkat sekarang." Tegas ibu Liana.

Indri mendumel pelan ke arah Yandhi sambil mengikuti masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Menyetir dengan pelan dan meninggalkan halaman rumah.

Setibanya di Rumah Sakit.

Ibu Liana mengetuk pintu sebuah ruang rawat VIP. Kemudian masuk disusul Indri dan Yandhi. Ruangan tersebut besar dengan dinding lapis yang bercorak cantik, sebuah lemari kecil disamping tempat tidur dan sebuah TV didepannya. Disana terbaring Shireen yang melihat ke arah pintu, disamping kasur tersebut orang tuanya.

"Halo Shireen." Sapa ibu Liana, tersenyum ramah.

"Halo tante." Jawab Shireen, tersenyum. Suaranya terdengar sangat kecil.

Ibu Liana menyapa kedua orang tua Shireen, lalu mereka menyingkir untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Bertanya dan mengobrol ringan tentang kondisi Shireen.

"Shi," Ucap Yandhi.

"Hai, Yand." Sapa Shireen.

Indri menaikkan salah satu alisnya menatap Yandhi dan Shireen bergantian. Hmm... Indri menduga sesuatu sekarang.

"Kamu kenal Yandhi, Shi ?" Tanya Indri.

"Iya, kak." Jawab Shireen.

"Koq bisa ? Nggak, maksudku, darimana ?!" Sela Indri, menatap Yandhi. Lalu kembali melihat Shireen.

Shireen pun menceritakan detail perkenalan yang terjadi dari keduanya.

"Ouh, begitu." Gumam Indri. Lalu menyeringai ke arah Yandhi.

Yandhi memutar bola matanya jengah terhadap sikap kakaknya yang siap-siap nanti pasti mengejek.

"AC-nya hangat ya," Yandhi melihat ke arah AC dan sekeliling.

"Iya, Yand. Aku disini karena Urtikaria."

"Apa itu ?"

"Alergi suhu dingin yang cukup parah."

"Oh, benarkah ?!"

Shireen mengangguk sembari tersenyum.

Ruangan yang tadinya banyak orang, sekarang hanya tersisa Yandhi dan Shireen. Yandhi duduk di sofa yang menghadap tempat Shireen berbaring. Ketika Shireen berusaha hendak bangun untuk duduk, Yandhi segera menolongnya.

"Makasih, Yand."

"It's ok."

Yandhi berbalik, akan duduk kembali ke tempat tadi. Terpaku saat merasa Shireen memegang ujung bajunya.

Yandhi berbalik kembali menatap Shireen. Tetapi yang dia dapati adalah Shireen yang menundukkan kepalanya.

"Ada apa, Shi ?"

Shireen semakin mengeratkan pegangannya di ujung kaos milik Yandhi. Memantapkan tekadnya lalu mulai berbicara. "Aku menyukaimu."

Degh !

Kaget banget. Yandhi nggak salah dengar kan ? Shireen bilang,

"Aku suka sama kamu, Yand." Ucap Shireen, dengan malu melihat wajah Yandhi yang masih terkejut.

"Kamu kaget ya ?! Maaf, aku malu sekali." Ucap Shireen menutup mukanya dengan telapak tangan.

Ya Tuhan, aku benar-benar sudah jauh melangkah. Batin Yandhi.

***

Sore itu, Christ bersama Richard menjenguk Shireen ke rumah sakit. Christ mengetahui kondisi Shireen dari teman sekelasnya yang mengatakan bahwa Shireen sakit. Segera setelah mengetahui itu Christ langsung menghubungi Shireen, mengetahui letak rumah sakit dan ruang rawatnya.

Tiba di rumah sakit, Christ terkejut karena melihat hanya Yandhi yang menjaga Shireen.

"Kamu disini, Yand ?!" Richard juga penasaran.

"Iya, Rich." Yandhi terlihat bingung dan ingin bertanya, tetapi seolah tahu isi pikiran keponakan mudanya itu Richard langsung menjawab.

"Kita satu sekolah, ingat ? Shireen juga temanku, yah meskipun tidak terlalu akrab."

Yandhi mengangguk mengerti.

Christ melihat Shireen yang tertidur pulas. "Kamu beneran aja deh, aku kesini malah tidur."

Perlahan Shireen membuka matanya. Saat kesadarannya sudah kembali, ia tersenyum lembut. Christ menyambutnya dengan senyum pula.

"Hei," Sapa Christ. "Aku bangunin kamu, maaf ya !"

Shireen menggeleng. "Nope, aku memang udah tidur lama."

Pintu terbuka, masuk kedua orang tua Shireen serta Ibu Liana dan Indri, juga seorang dokter serta asisten dokter itu.

"Eh, nak Christ jenguk Shireen juga ?!" Tanya ibu dari Shireen.

"Iya, tante. Pas tahu tadi di sekolah, makanya pulang langsung kesini." Jawab Christ.

Christ dan Shireen sudah berteman lama. Dan beberapa kali pernah mengantar Shireen pulang dari sekolah, sehingga orang tua Shireen pun mengenalnya.

"Puji Tuhan, kondisi pasien sudah lebih baik. Besok sudah bisa dibawa pulang bapak dan ibu, hanya saja kondisinya harus selalu dipantau dan perbanyak istirahat." Kata Dokter. "Mohon jangan terlalu banyak orang di ruangan karena pasien harus istirahat."

"Oh, syukurlah. Baik dokter, terima kasih." Sahut pak Ben, ayah Shireen.

"Sama-sama. Permisi !" Ucap dokter tersebut lalu keluar dari ruangan.

Richard berjalan diantara Christ dan Yandhi di koridor rumah sakit.

"Yand, kita perlu bicara." Kata Christ.
Kemudian berjalan ke arah taman rumah sakit yang luas itu.

Yandhi dan Richard saling pandang, Yandhi pun melangkahkan kakinya mengikuti Christ.

Setetes Embun PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang