Chapter 30 I Choose You

15 0 0
                                    

Satu minggu kemudian...

Yandhi sedang merapikan pakaiannya dan menata didalam koper, duduk di atas tempat tidur.

Tok Tok Tok

Yandhi menoleh ke arah pintu yang di ketuk, kemudian terbuka. Menampilkan sosok Indri dengan baju piyama siap untuk tidur, padahal sekarang baru pukul 7 malam.

"Weh, dah packing ?!" Indri duduk di kasur mengambil bantal disampingnya.

"Kakak udah ?"

"Dah deng,"

"Huh, itu bukannya babi yang dikeringkan ?"

"Itu dendeng."

Yandhi tertawa.

"Kalau udahan, turun ya."

"Kenapa ?"

"Ada keluarga pak Ben dan keluarga pak Jhon bertamu."

"Oh," Yandhi hanya ber-oh ria. Lalu tersentak. "Apa ?!"

"Yandhi, bikin kaget ey !" Seru Indri, memukul adiknya itu dengan bantal.

Melihat ekspresi Yandhi yang mendadak bisu, Indri memperhatikannya lalu memukul lagi dengan bantal.

"What's wrong ?!"

"Nothing."

"Let's go down !"

Yandhi mengangguk. Lalu turun dari kasur, dan berjalan keluar dari kamar bersama Indri.

Keduanya menuruni tangga bersama. Yandhi berdiri di satu anak tangga sebelum mencapai lantai memandang ke arah ruang keluarga. Daddy bicara dengan Pak Jhon dan Pak Ben, disana terlihat juga seorang pemuda yang diketahui Yandhi adalah kakak laki-laki Marsha. Sedangkan Para Ibu sibuk menata makanan dan minuman di dapur serta atas meja makan dibantu Shireen dan Marsha.

Indri melangkah ke dapur bergabung dengan para wanita.

"Son, kemari." Panggil Daddy, saat melihat Yandhi.

Yandhi berjalan ke arah mereka sambil tersenyum. Mereka kembali mengobrol dengan akrab hingga makan malam bersama.

Yandhi sesekali melirik ke arah Marsha yang terlihat mengacuhkan dirinya. Justru Shireen yang terlihat bersemangat untuk mengobrol dengan Yandhi. Marsha akan terlihat antusias kalau mengobrol dengan Mommy dan mengelus lembut perut Mommy yang sudah semakin besar.

Entah mengapa Yandhi merasa kehilangan sekarang. Shireen menghampiri Yandhi yang duduk di pinggir kolam renang sambil melihat pantulan dirinya di air. Di seberang sana Ada Indri dan kak Aldi sedang mengobrol.

"Hai, Yand !" Sapa Shireen, duduk disebelah Yandhi.

"Hei." Sahut Yandhi, tersenyum.

"Masakan mama kamu enak deh,"

"Kamu juga bantuin kan ?"

"Yah, aku nggak bantu banyak." Shireen nyengir.

Yandhi mengangkat tangannya, mengelus surai Shireen dengan lembut. "Shi, pakai sweater kamu dengan benar disini dingin."

"Iya," Shireen manyun, kemudian tersenyum. "Terima kasih, Yand."

"For what ? "

"For everything you do to me."

"Sama-sama."

"Um, Yand."

"Ya ? "

"Untuk pernyataan aku waktu itu, kamu nggak harus jawab karna aku cuma mau kamu tahu perasaan aku. Dan sejujurnya, aku mengerti bahwa kamu sebenarnya suka sama Marsha."

Yandhi menatap sendu Shireen.

"Aku lihat kamu berkelahi dengan Christ di taman rumah sakit waktu itu." Shireen menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya. Berusaha mengontrol dirinya agar tidak menangis di depan Yandhi, mengingat kejadian waktu itu membuat hatinya terasa sesak.

"Shi," Yandhi menggenggam jemari Shireen. "Maafkan aku, dan terima kasih."

Shireen mengangguk sambil tersenyum lembut.

Marsha berdiri kaku disamping pintu kaca yang mengarah ke halaman kolam renang tersebut. Pembicaraan Yandhi dan Shireen tidak terdengar jelas olehnya, namun Marsha dapat melihat dengan jelas Yandhi yang memegang jemari Shireen. Cairan bening tanpa sadar jatuh menuruni pipi chubby-nya dari mata sebelah kiri yang artinya kesedihan itu ia rasakan. Dengan segera Marsha menghapus jejak airmata yang membuat pipinya basah dan berusaha mengganti ekspresinya supaya terlihat baik-baik saja.


***


Marsha bangun dengan malas pagi ini, berleha-leha bersiap untuk berangkat ke sekolah dan pergi belajar sampai menjelang sore.

Hari ini Marsha banyak melamun, teman-temannya menjumpai dirinya seperti itu. Tidak banyak bicara, bahkan terkadang matanya terlihat berkaca-kaca. Merasa lemah tiap kali teringat kontak fisik yang Yandhi lakukan kepada Shireen malam itu. Tetapi juga penasaran dan bertanya-tanya apa yang mereka berdua bicarakan ? Karena setelah itu Marsha melihat bahwa Shireen nampak sedih tetapi sungguh pintar menyembunyikannya dengan senyum lembut dan tawa yang dia tunjukkan.

Marsha berdiri di ujung tangga saat berpapasan dengan orang yang tadi ada didalam pemikirannya. Panjang umur.

Shireen seperti sengaja berhenti berjalan untuk berbicara dengan Marsha. "Hai, Marsha !"

"Hai, Shi." Sapa Marsha tersenyum.

"Bisa ngobrol sebentar ?" Tanya Shireen.

"Ng, sure." Jawab Marsha.

"Sebenarnya aku suka sama Yandhi. Dan aku tahu kamu juga suka sama Yandhi kan ?"

Marsha terkejut. Shireen langsung bicara to the point seperti itu kepadanya. Apa maksudnya ?

"Awalnya aku kira Yandhi juga suka padaku dan ku pikir mungkin aku punya kesempatan. Tapi ternyata Yandhi sayang sama kamu Sha, posisi kamu lebih tinggi di hatinya daripada aku. Dan aku sadari itu. Aku sayang sama Yandhi bukan berarti kita harus bersama." Shireen tidak dapat menahan airmatanya lagi, cairan bening itu jatuh menuruni pipi halusnya.

Marsha terhenyak. Dalam hatinya juga merasa sakit seperti yang Shireen rasakan, hanya saja ada sedikit kelegaan disana karena mengetahui bahwa ternyata Yandhi juga mencintainya.

"Yandhi kembali ke Amerika hari ini, jam 11 nanti keberangkatan pesawatnya. Yandhi pasti nunggu kamu. Walau dia tahu itu nggak mungkin. Kalau kamu memang sayang sama Yandhi, kamu harus perjuangin dia, Sha." Shireen mencoba tersenyum, kemudian melangkah menaiki tangga.

Marsha terdiam lalu tangannya bergerak perlahan melihat jarum jam yang terus bergerak di pergelangan tangan kirinya. Mata Marsha terbelalak melihat sekitar 20 menit lagi jam 11 tepat. Kemudian kakinya bergerak berlari di koridor sekolah menuju pagar sekolah untuk pergi ke bandara. Tidak dipedulikan lagi olehnya saat bel istirahat berakhir yang artinya kelas berikutnya akan berlangsung.

Sementara itu Shireen menyandarkan punggungnya di tembok samping tangga sambil menangis dalam diam. Airmatanya terus saja mengalir meski dia tahu bel masuk kelas sudah berbunyi.



Setetes Embun PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang