Mendengar saran dari para sahabatnya, Marsha mulai bertekad."Ok, aku nggak akan berharap lagi. Aku akan bersikap biasa saja, harus semangat." Gumam Marsha pada dirinya sendiri.
Membuka buku matematika hendak belajar, tetapi ketukan pintu menghentikan gerakan Marsha.
"Sayang, ini papa." Panggil pak Jhon.
"Iya, pa." Marsha bangkit dari kursinya dan membuka pintu kamar.
"Ada Yandhi di ruang tamu."
"Hah ?! Yandhi ! Mau ngapain ?" Sentak Marsha. Mendadak jantungnya berdegup kencang.
"Katanya mau ketemu kamu, temui dulu sana." Jelas papa, lalu pergi.
Marsha menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan telapak tangan didada. "Aduh, liver bisa nggak sih kamu jangan berdetak sekencang ini ? Eh, kalau nggak berdetak artinya aku mati deng !? Aish... Ngomong apa sih diriku ini ?!"
"Iya dek, kamu ngomong apa ? Ngomong sendiri gitu ? Aneh banget !" Tukas kak Aldi, berhenti didepan Marsha.
"Ish, dasar kak Aldi gila !" Celetuk Marsha, berlalu.
"Wei, yang menunjukkan ciri-ciri gila itu siapa, pendek ?! Ejek kak Aldi, tergelak.
" Kak Aldiiiiiiii !" Teriak Marsha, emosi.
Marsha berdiri dibelakang sofa yang Yandhi duduki tadi. Saat mendengar suara Marsha, Yandhi segera berdiri, dan lihatlah Yandhi drama Marsha dengan kakak laki-lakinya itu.
Saat Marsha berbalik, Yandhi tersenyum kepadanya.
"Hai Sha,"
Marsha mendadak salah tingkah. "Eh, ng, hai Yand."
"Duduk Yand," Marsha mempersilakan Yandhi duduk, dan dirinya juga. "Ada apa ?"
"Cuma mau ketemu kamu."
"Oh, kirain hal penting apa ? Hehe." Marsha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Keduanya terdiam. Dan dari ruang tamu hanya terdengar suara dari Televisi yang menampilkan berita hari ini.
"Disini panas deh, kamu mau keluar bentar nggak Yand, cari udara segar." Marsha mendadak bangkit dari duduknya karena tidak tahan dengan kecanggungan yang tercipta sedari tadi.
"Oh, ok." Jawab Yandhi, singkat.
Yandhi dan Marsha keluar dari rumah dan berjalan-jalan, hari menunjukkan sudah petang. Matahari akan menyembunyikan dirinya dan kembali lagi besok pagi.
"Ey, ada penjual sate." Ucap Marsha. Berlari kecil mendekati tukang sate tersebut dan menyebutkan pesanannya.
Sedangkan Yandhi masih berjalan santai di belakang Marsha sambil memasukkan tangan kedalam saku celana panjangnya.
Marsha memberikan uang 15 ribu (Rupiah ya, sesuai mata uang negara Indonesia, bukan dollar. Hm ?!) kepada tukang sate itu lalu mulai komat-kamit menyebutkan doanya dan makan.
"Kamu kayaknya lapar sekali ?!" Tersenyum Yandhi memperhatikan Marsha yang sedang makan.
"Sebenarnya nggak juga sih, tadi udah makan. Tapi pas cium aroma sate, satenya kayak manggil-manggil gitu. Seperti ngomong, beli aku makan aku. Jadi ya udah deh, beli. Kamu mau, Yand ?!" Celoteh Marsha.
Yandhi pun tidak dapat menahan tawanya. Dia tertawa dengan semangat mendengar ocehan gadis gembul di depannya itu. Sebenarnya Marsha tidak terlalu pendek, tingginya sekitar 153 cm. Pipinya tembem, bahkan sampai ke jari-jari tangannya. Dan yang sering Yandhi lihat ketika dengan Marsha adalah anak itu suka sekali makan.
Semenjak mengenal Marsha dari perjumpaan pertama keduanya yang bisa dikatakan tidak terlalu baik karena Yandhi tiba-tiba dibentak oleh seorang perempuan dihari pertama ia menginjakkan kaki di tanah Indonesia. Berlanjut sampai makan malam keluarga mereka, bisa dibilang kesan pertama itu bisa berubah setelah mengenal satu sama lain dengan baik.
Yandhi duduk di trotoar samping Marsha sambil memperhatikan cara gadis itu makan. Saat Marsha menarik potongan daging ayam dari tusuknya, membuat saos sate itu belepotan di belahan bibirnya. Dan dengan refleks Yandhi mengulurkan tangannya untuk membersihkan dengan ibu jari tangan kanan.
Marsha tercekat, menahan nafas dan terpaku ketika Yandhi melakukan hal itu padanya. Memakan makanannya dengan susah payah. Yandhi melihat ibu jarinya yang menempel saos sate tadi, lalu melirik ke arah Marsha. Tanpa merasa jijik, Yandhi mengemut jarinya.
Melihat hal itu, Marsha jadi sadar. "Yandhi, ihh, jorok. Kamu nggak ada pikiran ya ?! Iihhh... Gila !" Marsha memukul Yandhi dengan bruntal.
Hahaha~ Yandhi tertawa sambil meringis juga. Cewek gembul kayak Marsha lumayan sakit juga kalau mukul dengan segenap hati.
"Hei, Sha, stop it !" Ucap Yandhi, berusaha menangkis setiap pukulan Marsha.
"Bodo !" Seru Marsha, masih memukul dengan satu tangannya yang bebas.
"Marsha !" Yandhi memegang tangan Marsha yang tadi sibuk ingin memukul dirinya.
Keduanya saling menatap dalam diam.
Diam ku terpaku dan ku kagum akan...
Hehe, canda ja. Koq malah nyanyi deng ?! 😅
Degh... Yandhi menatap mata Marsha dalam seolah ingin menyelami apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Jantungnya berdetak cepat, dan dia juga merasa tangan Marsha mulai basah karena keringat. Lama menatap mata, Yandhi beralih ke pipi lalu hidung kemudian bibir merah jingga itu. Baru kali ini Yandhi memperhatikan Marsha sedetail ini.
Marsha tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, bibirnya tertutup rapat dan mata itu seolah mengunci kuat untuk Marsha tetap melihat ke arahnya. Jantung Marsha terus berdetak sangat cepat, sehingga dirinya kuatir takut-takut orang didepannya itu mendengar betapa ributnya jantung Marsha saat ini.
Suara klakson motor karena ada kucing yang menyeberang jalan seolah menginterupsi dua anak muda itu untuk berpaling dan berhenti saling menatap. Marsha menunduk, merasa panas diwajahnya. Sedangkan Yandhi berdehem pelan untuk menetralkan detak jantungnya sambil melihat ke arah jauh entah kemana.
"Um, Sha, pulang yuk. Udah mulai gelap." Yandhi memandang Marsha kembali.
"Iya." Suara Marsha serak. Sial ! Ketauan banget akunya grogi.
Yandhi dan Marsha pun berjalan kembali menuju rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Embun Pagi
Fiksi RemajaSemua orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Tapi yang membuat berbeda adalah cara kita menyingkapinya. Dan, bagaimana masalah itu menjadikan diri kita semakin dewasa. Salam, Mayluv 🌼