Flashback onKejadian malam itu di taman rumah sakit, saat Christ mengajak Yandhi untuk bicara.
Tanpa ba-bi-bu, sebuah tonjokan melayang ke arah pipi kanan Yandhi.
"Kamu pantas dapetin itu !" Ucap Christ, penuh emosi.
Mendapat pukulan tidak terduga, Yandhi yang menelengkan mukanya kekiri akibat tonjokan tersebut, tersenyum miring menyentuh sudut bibirnya yang berdarah dengan ibu jari kemudian menatap Christ.
"Apa maksudmu ?!" Yandhi berusaha tetap tenang.
"Marsha suka sama kamu, Yard. Apa kamu nggak bisa lihat ? Sekarang kamu malah nempelin Shireen kayak lintah. Kamu sadar nggak ? Hati mereka bukan mainan. Sialan kamu pakai hati orang buat senang-senang, huh !?" Teriak Christ.
"Aku tidak." Kata Yandhi.
Christ mengingat dengan jelas, saat Marsha menangis tersedu-sedu di taman sekolah saat bercerita tentang Yandhi kepada sahabat-sahabatnya.
Christ yang saat itu bersama Richard di koridor dekat taman hendak berganti seragam kembali ke ruang ganti pemain basket.
Christ mengepalkan tangannya sampai garis urat-uratnya terlihat jelas. "Tiga tahun Yard, untuk tiga tahun aku selalu disisi Marsha. Aku bertekad nggak akan bikin dia nangis untuk alasan apapun betapa aku menyanyanginya. Tapi kau, cowok sialan yang datang dalam waktu tiga bulan. Pake hati orang buat senang-senang, kasih harapan dan buat mereka nangis."
"Ini tidak ada hubungannya dengan Shireen."
"Shireen juga temanku, sialan !" Christ menonjok Yandhi lagi.
Tetapi kali ini Yandhi membalas, bahkan lebih keras dipipi kiri Christ dan perutnya. Christ terduduk di tanah yang dipenuhi rerumputan.
"You don't know anything !" Balas Yandhi.
"Shit !" Lirih Christ, memegang perutnya kesakitan.
"I'm not at all like you said. And i don't care how you feel about Marsha.
That's your business, you're stupid 'cause you just want to be close to her and never say anything about your feelings.
And now you blame me for coming to Marsha and saying that i love her.
You stupid. You're more damn than me !"Christ diam, setetes airmatanya ia jatuhkan. Yandhi menyerangnya dengan kata-kata yang telak, dan Richard berdiri di lantai koridor rumah sakit tanpa berniat untuk melerai perkelahian keduanya tadi.
Yandhi terduduk di bangku taman sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan.
Laki-laki bisa mengerti dan sadar akan beberapa hal, saat ada seseorang bersedia untuk memukul dirinya dengan sepenuh hati. Sebagian begitulah cara mereka menyampaikan rasa peduli dengan sebuah pukulan keras.
(Tidak untuk ditiru !) 👆
Shireen berdiri tidak jauh dari taman tempat Yandhi dan Christ berada, dari tempatnya dia dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Yandhi ataupun Christ. Shireen menangis dalam diam, airmatanya terus-menerus mengalir sejak saat Yandhi bicara dan memukul Christ.
"Hiks~" Rasa sesak akibat menahan isakan tangisannya, Shireen meremat baju sekitar lehernya dan menyandarkan punggungnya ke tembok. Sakit ! Baru kali ini, nggak pernah merasa sakit sesesak ini sampai sulit bernafas.
Flashback off.
Hidup itu tidak ada yang tahu. Hari ini kita tertawa bahagia, namun kemudian esoknya kita menangis dengan kehancuran yang mendalam.
Kita menangis di tengah malam, terbawa tidur hingga pagi menjelang. Dan ketika bangun, mata menjadi bengkak dan mata panda bermunculan. Kenapa siklus menjadi dewasa itu sangat sulit ? Tapi semua orang melangkah dalam proses menuju ke sana.
Sebagian orang berpendapat, mencari bahagia tidak mau susah tidak ingin ada kata lelah. Dewasa ini, banyak hal ditawarkan dengan cara yang mudah. Cinta pun bisa berada dalam urutan kesekian, dan tanpa sadar mengorbankan hati orang lain untuk meraih bahagia.
Marsha membuka matanya perlahan, mengerjapkan beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya matahari yang masuk melewati celah-celah horden jendela. Hari ini hari minggu, jadi bangun lebih lambat rasanya tidak masalah.
Terdengar ketukan pelan dari pintu kamarnya.
"Sayang, kamu sudah bangun ?" Tanya Mama dari balik pintu.
"Sudah." Marsha merenggangkan tubuhnya, menggeliat di atas kasur.
"Kita pergi ibadah pagi ya, jaga rumah baik-baik." Kata Mama.
"Ok, mama." Sahut Marsha, melihat ke pintu kamar.
Kemudian terdengar langkah kaki menjauh, dan setelahnya rumah terdengar sangat sepi.
"Huah, bosan banget. Apa aku tidur seharian aja ? Tapi lapar eh," Marsha bangun dengan terpaksa. Dan meraih ponselnya di atas meja nakas. Melihat jam sudah tunjukkan pukul 9 lewat beberapa menit.
Turun dari kasur dan bangkit untuk berjalan menuju kamar mandi lalu mencuci muka dan keluar dari kamar untuk sarapan.
Berjalan ke dapur dengan langkah gontai dan menyiapkan sarapan paginya yang sudah dimasak oleh mama dan makan dengan lahap.
Drrrr... Ponsel yang ada di meja berdering. Marsha melirik untuk melihat nomor yang tertera di layar. Dan langsung menarik ponselnya untuk mendekat dan membalas chat tersebut sambil tersenyum.
Yandhi menghela nafas sambil menimang-nimang telpon genggamnya, setelah mengirim pesan pada Marsha untuk mengajaknya bertemu.
"Kali ini aku akan mengatakannya dengan jelas. Lord, help me !" Ucap Yandhi dan langsung menunduk dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Embun Pagi
Teen FictionSemua orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Tapi yang membuat berbeda adalah cara kita menyingkapinya. Dan, bagaimana masalah itu menjadikan diri kita semakin dewasa. Salam, Mayluv 🌼