Richard mengunyah dessert pudding sambil memandang Yandhi yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri."Kamu terlalu banyak berpikir, Yard."
Yandhi mengangkat mukanya menatap Richard. "Ada saran ?"
"Kamu punya alasan yang bisa diterima logika kalau milih Shireen ?"
Yandhi menghela nafas perlahan. "Dia mengingatkanku pada my first love."
"Yeah, it's over right ?!" Tanya Richard. Kemudian melanjutkan. "Kamu memilih seseorang atas dasar karena dia mirip dengan cinta pertamamu, bukanlah sebuah keputusan. Kamu tidak benar-benar menganggap orang itu adalah dirinya sendiri, perasaan peduli dan mencintai itu berbeda, Yard. Bisa saja kamu hanya peduli, terkadang kita bisa saja salah menilai hati kita jika kita tidak benar-benar mengenal diri kita sendiri.
Mengenai sikapmu terhadap Marsha ataupun Shireen, cobalah untuk bersikap tegas. Ini bukan soal tega atau tidaknya, jika kamu tidak mau mereka terluka. Kamu salah, justru dengan ketidakjelasan sikap kamu malah membuat luka. Mereka berhak untuk bahagia, cobalah untuk merenungi dan melihat kedalam hatimu yang benar-benar kami cintai. Yard, aku tidak memihak siapapun. Aku juga mau kamu bahagia,
Apa kamu berpikir meninggalkan hati yang terluka karna kamu memberi harapan kemudian kamu kembali ke Amerika ? Kamu tahu Yard, aku saja menganggap kamu adalah laki-laki brengsek."
"Sebrengsek itukah aku ?!"
"Ehem, maaf Yard. Kadang kejujuran itu menyakitkan." Richard tergelak.
Yandhi memandang keluar kafe lewat dinding kaca transparan ke arah jalan besar.
"Apa kamu mencintai Marsha ?"
"Ya, aku tidak mau kehilangan dia."
"Apa Marsha sudah tahu kamu akan pulang ke Oakland minggu depan ?"
"Dia tahu aku akan pulang, hanya saja aku tidak bilang kalau aku akan pulang minggu depan. Aku tidak mau dia menungguku."
Triiiiiinggggg.......
Handphone di atas meja berdering hebat tanda sebuah panggilan masuk.
Richard mengambil benda persegi tersebut lalu menggeser layarnya, "Halo Kit,"
"..."
"Di kafe biasa nih, lagi makan. Kenapa ?"
"..."
"Ok, di tunggu." Richard meletakkan kembali Handphone-nya diatas meja.
"Yard, Christ mau kesini. Dia nggak tahu kalau kamu juga ada disini. Aku rasa, kalian perlu bicara dan berbaikkanlah. Christ bukanlah orang yang pendendam. Bukankah lebih baik punya teman daripada musuh ?!"
"Of couse." Yandhi tersenyum.
Dua puluh menit kemudian, Christ berjalan masuk ke dalam sebuah kafe dengan santai.
Melihat Christ dari kejauhan, Richard melambai memanggilnya.
Ketika Christ mendekati Richard, dia pun tersadar bahwa yang duduk di depan temannya itu adalah Yandhi.
Yandhi dan Christ beradu pandang.
"Kit, duduk dulu." Ucap Richard.
Christ duduk disebelah Richard dan menatap Yandhi.
"Hei, kalian bisa bicara baik-baik. Jangan kaku begini dong ! Kalian tahu, kalian berdua seperti sepasang kekasih yang sedang perang dingin. Haha~"
Christ berdecak. "Nggak lucu, Rich."
"Ng, Christ, aku minta maaf tentang kejadian tempo hari. Karena sudah memukulmu." Yandhi mengungkapkan penyesalannya.
"Hem, it's ok. Aku pun minta maaf. Aku juga memukulmu. Tapi aku rasa kita fear."
"Ok, baiklah." Yandhi mengulurkan tangannya.
Dan disambut oleh Christ tanpa ragu. Keduanya tersenyum.
"Tapi Yard, aku masih punya sesuatu untuk dikatakan padamu."
"Ya ?"
"Marsha sayang kamu, Yard. Kalau kamu milih Marsha jangan buat dia menangis. Aku rasa LDR bukan masalah kalau kalian bisa melalui itu bersama. Dan kalaupun Shireen yang kamu pilih, aku akan tetap disisi Marsha sampai dia punya perasaan yang sama padaku."
Yandhi tersenyum. "Jadi kamu nggak menyerah juga ?!"
"Aku akan nyerah, kalau kamu memang yakin dan milih Marsha."
"Thanks, Christ."
"Hm." Christ mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Embun Pagi
Teen FictionSemua orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Tapi yang membuat berbeda adalah cara kita menyingkapinya. Dan, bagaimana masalah itu menjadikan diri kita semakin dewasa. Salam, Mayluv 🌼