Siang itu sebelum masuk mata pelajaran terakhir, Maria mendapat panggilan telpon dari Christ. Dan betapa bahagianya Maria mendapat berita bahwa papanya telah bebas bersyarat dari penjara dan bisa keluar hari ini.Christ yang mendapat informasi tersebut dari pamannya yang adalah seorang polisi pun segera memberitahukan kepada Maria. Maria segera pergi menjemput papa bersama mama dan adiknya.
Selesai makan malam dengan keluarga, dan membersihkan cucian perlengkapan makan. Maria kembali ke kamarnya untuk sekedar menelpon Christ mengucapkan terima kasih, juga karena Maria penasaran alasan dibalik Christ yang tidak masuk sekolah selama dua hari terakhir.
Menunggu dengan debaran jantung yang cepat, terdengar suara Christ dari seberang telpon.
"Halo, Maria. Ada apa ? "
"Halo Christ. Ng, aku mau ngucapin terima kasih karna udah bilang tentang papa yang dibebaskan hari ini. Makasih banyak ya, aku seneng banget akhirnya kami sekeluarga bisa kumpul bareng lagi."
"Iya, Mar. Sama-sama."
Hening untuk beberapa menit. Dari Christ maupun Maria tidak ada yang bicara.
"Mar,"
"Eh, iya Christ ?"
"Kamu bisa kesini nggak ?"
Maria mengernyitkan dahinya. "Kemana ?"
"Aku di pinggir danau dekat sekolah kita."
"Ok !" Ucap Maria, menutup telpon dari Christ.
Maria melangkah pelan menuju sebuah danau dengan beberapa bangku panjang untuk bersantai yang sudah sebagian terisi oleh beberapa pengunjung.
Maria mengarahkan pandangannya sekeliling taman pinggiran danau tersebut, dari kejauhan terlihat seorang anak muda yang memakai kemeja pink tidak dikancingkan, dengan kaos putih serta celana jeans biru dengan sneaker tanpa tali berdiri dekat danau. Bahkan ada cewek-cewek yang lewat terus-menerus melirik ke arah Christ sambil berbisik cekikikan kesenangan.
Maria menepuk bahu Christ, pelan. "Hei !"
Christ menoleh. "Hei, Mar !"
Bibirnya tertarik menunjukkan senyum tipis.Maria ikut tersenyum. Christ membawa Maria duduk di bangku panjang di pinggir danau itu yang masih kosong.
"Christ, aku dengar dari teman-teman. Kakek kamu udah dipanggil Tuhan. Kamu yang kuat ya,"
"Iya, finally, now grandfa is resting peacefully there."
"I 'm really sorry." Maria menuturkan kesedihannya juga.
"Hm." Christ mengangguk. "Trims, Mar."
"Besok kamu udah masuk sekolah ?"
"Ya." Sahut Christ.
Pandangan keduanya masih mengarah ke air danau.
"Aku udah nembak Marsha,"
Maria dengan otomatis menoleh ke arah Christ yang berdiri disebelah dirinya. Hatinya merasa ngilu mendengar pengakuan Christ barusan.
"Kamu menyukai Marsha, Christ ?"
"Iya, tapi dia menolakku."
"Kalau aku katakan aku juga menyukaimu, apa kamu akan menolakku ?" Lirih Maria, bahkan seperti hampir berbisik.
"Apa ?" Christ membawa pandangannya untuk melihat ke arah Maria.
Mereka berdua saling menatap dalam diam sekarang.
Maria tersenyum. "Nothing."
Christ menghela nafas kasar. "Rasanya kali ini benar-benar sangat berat aku jalani, aku bahkan tidak tahu harus cerita ke siapa lagi. Pukulan ini, rasanya aku masih kuat dengan Marsha yang menolak perasaanku. Tapi kehilangan kakek, dan juga ayah di tahun yang sama. This hurt, Mar. But, i don't wanna give up !"
"If so, don't give up ! I will be here for you." Ucap Maria, menepuk punggung tangan Christ.
Mata keduanya bertemu, Christ menatap mata Maria dalam dan mencari arti dari ucapannya itu. Perlahan Christ membalik tangannya menjadi terbuka yang tadi ditepuk oleh Maria. Sekarang tangan kiri Christ terbuka dan telapak tangan kecil Maria berada di atas tangannya.
Dengan pandangan yang saling bertemu, tanpa kata, suasana itu seolah menghadirkan sengatan-sengatan listrik kecil, debaran jantung yang semakin cepat, dan sepertinya setetes embun pagi itu telah menyemaikan bunga yang tadinya kuncup sekarang menjadi mekar karena sentuhannya.
Bahagia dan kesedihan itu satu paket. Saling berbarengan, karena kalau bahagia terus nanti tidak belajar tegar di dalam kesedihan.
Cinta itu seperti embun pagi. Putih, bersih, dan menyejukkan hati. Tetapi tidak semua yang tentang cinta itu membuat bahagia, kesedihan juga turut ada di dalamnya.
"Mari," Ucap Christ.
"Kit, jangan panggil aku Mari." Sela Maria, manyun.
Christ tergelak. "Oya, temani aku ya !"
"Kemana ?"
"Ayo !" Christ berdiri dan malah menggandeng tangan Maria untuk berjalan berbarengan dengan dirinya.
"Eh, kita mau kemana ?!" Tanya Maria, berjalan dibelakang Christ. "Christ pelan-pelan jalannya, aku udah ratusan langkah nih ngejar kamu."
Christ berjalan pelan dan memandang muka Maria hingga ke kakinya. "Oh iya, ya. Kamu pendek."
Maria melotot marah. Dan tanpa ragu menendang betis Christ dengan cukup kuat.
"Adoohh !" Keluh Christ, kesakitan. "Astaga ! Barbar nih cew..."
Maria memukul kepala Christ lagi.
"Maria ! Ini penyiksaan !" Seru Christ, mengusap kepala bagian depannya, yang dipukul oleh Maria.
Maria tertawa jahat. "Rasain. Makanya jangan ngatain orang lain pendek, dengar ya, kamu aja yang terlalu tinggi. Dasar Titan !"
Maria berjalan duluan, dan Christ... Tentu saja dia hanya bisa meringis sakit berjalan menyusul Maria dengan langkah gontai. Tetapi terukir senyum bahagia di bibir tipisnya.
#Kit&Mari
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Embun Pagi
Teen FictionSemua orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Tapi yang membuat berbeda adalah cara kita menyingkapinya. Dan, bagaimana masalah itu menjadikan diri kita semakin dewasa. Salam, Mayluv 🌼