Richard men-drible bola basket menuju ring, sedangkan Lasah berusaha mengejar dan merebut bola tersebut. Dari tengah lapangan hingga mendekati ring basket, tetapi ketika Richard hendak memasukkannya ke dalam ring. Seseorang dengan tubuh tinggi tegap melompat, mengambil bola itu dan memblock jalur bola agar tidak masuk ke ring."Kit !" Teriak Richard, nampak kesal.
Christ tertawa masih mendrible bola.
"Eh, itu Christ ?" Tanya Reno.
"Eh gila aja, kaget woi !" Seru Egil.
Karena Christ tiba-tiba muncul dan ikut bermain.
"Kamu potong rambut, Kit ?" Tanya Richard.
"Bukan dipotong, tapi digunting." Celetuk Lasah.
"Wuihh, keren loh !" Puji Egil.
"Dari dulu tuh," Aku Christ, tersenyum.
Egil berlari ke arah Christ dan menendang pantatnya. Namun Christ hanya tertawa.
"Kenapa ? Patah hati kau ?!" Celetuk Lasah.
"He-eh, buang sial." Sahut Christ, kemudian tertawa.
"Weh, gitu dong bro. Nggak usah larut dalam kesedihan, percaya sama yang diatas. Dia pasti punya rencana terbaik buat keluargamu." Lasah merangkul Christ.
Christ menepuk pundak Lasah sambil tersenyum. "Thanks bro,"
Yang lain pun ikut merangkul Christ, memberikan sahabat mereka itu kekuatan lewat pelukan. Menyalurkan rasa, menunjukkan bahwa mereka peduli satu dengan yang lain.
Tidak ada yang lebih baik saat kamu punya sahabat untuk menjadi tempat saling berbagi dan menguatkan. Tentu saja mereka sudah tahu tentang kesusahan Christ, bagaimana ia sudah kehilangan kakeknya beberapa hari yang lalu. Karena sebelum pemakaman selalu dilakukan ibadah penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
***
Richard turun dari motor, dan mencabut kuncinya lalu berjalan masuk ke dalam sebuah kafe. Melihat sekeliling, kemudian berjalan mendekati orang yang dirasa di kenalnya.
Di meja paling ujung, duduk Jose dan Yandhi. Richard menghampiri keduanya.
"Hei, sorry nih nunggu lama." Ucap Richard, lalu duduk.
"Hei, Richard." Sapa Jose.
"Udah lama nggak liat kamu, Jose."
"Iya, sibuk ngurus banyak hal." Kata Jose.
"Apaan ?" Richard mencomot kentang goreng dan memakannya.
"Kepindahan Jose dipercepat." Sahut Yandhi.
"Huh ?!" Richard terkejut. "Pindah kemana ?"
"Ya, aku ke Australi. Kita berangkat sama-sama minggu depan."
"Kamu balik Oakland, Yand ?" Tanya Richard.
"Iya Rich, minggu depan."
"Aku kira kamu masih lama di Indo," Ucap Richard.
Yandhi mengangguk, mengambil gelas di meja dan meminumnya lewat sedotan.
"Yard, kamu yakin mau balik ?!" Tanya Richard.
Yandhi mengangguk. "Kenapa ?"
"Jadi, akhirnya kamu ninggalin... You know what i mean, right ?!"
"I don't know, Ungle. I'm still confused." Yandhi menunduk sambil menarik rambutnya.
"Hei, Yard, kamu udah bilang ke Marsha kalau mau balik Oakland ?" Tanya Jose.
"Nope."
"What ! Why ?!" Sela Jose.
"Arrgg... I can be crazy !! " Seru Yandhi. "This is so difficult."
"Aku nggak mau ikut campur ya, Yard. Itu urusan kamu, makanya jangan main api. Sekarang terbakar kan, trus main air juga ya basah to.." Tukas Jose, mendorong bahu Yandhi. "Lama-lama ku pites juga kau,"
Yandhi menunduk lesu. Entah berapa kali dia menghela nafas kasar dari tadi.
Richard tertawa. "Sudah main-main, sekarang nentuin. Kamu sayang sama siapa sebenarnya, Yard."
"Hei, berhenti memojokkanku. Sial..." Umpat Yandhi.
Jose dan Richard malah tertawa.
Setelah lama mengobrol, Jose pergi terlebih dulu.
Keluar dari Kafe tersebut, Jose berjalan pelan menyusuri jalan disamping taman kota. Melihat sebuah stand minuman, Jose pun singgah dan memesan es teler minuman kesukaannya. Seorang gadis disebelahnya yang juga membeli minuman terlihat sedang mengobrak-abrik isi dari tasnya mencari sesuatu.
"Duh, dompetku mana ?!" Gumamnya.
Jose memperhatikan gadis itu dengan seksama. Lalu tersenyum. "Hei,"
Gadis itu mengangkat mukanya. Setelahnya, dia terkejut. "Huh, Jose ?!"
"Iya, ini aku, Gi."
Giselle menggigit bibir bawahnya, saking gugup dirinya. Astaga ! Jose memanggil namanya dengan singkat seperti itu seolah keduanya sudah sangat akrab.
Degh ! Jose terpaku melihat sikap seseorang di depannya itu, benar-benar mempengaruhi logika. Setelah sekian lama, tidak pernah jantungnya berdetak dengan irama cepat seperti ini lagi setelah cinta pertamanya pergi. Baru kali ini, irama itu muncul lagi.
"Hai Jose !" Suara kecil nan mungil itu menyadarkan Jose untuk kembali ke bumi.
"Kamu kehilangan dompet ?"
"Eh, kayaknya dompet aku tadi ketinggalan di rumah deh. Padahal uangnya di dompet itu semua," Giselle nampak gelisah. "Ng, mbak, saya nggak jadi deh beli minumnya."
"Ini mbak, bayarnya sekalian sama minuman yang ini." Jose mengambil gelas es telernya tadi dan memberikan uang kepada mbak penjual minuman tersebut.
"Eh, Jose, nggak usah dibayarin." Tukas Giselle.
"Udah terlanjur tuh," Jose tersenyum.
Giselle terdiam dan menunduk. Dia sungguh merasa malu.
Melihat bagaimana gadis itu bereaksi, Jose tersenyum lucu. "Ambil aja, Gi. Nanti kamu bisa ganti uangnya,"
"Uh, makasih ya." Giselle menatap Jose dengan malu-malu. "Pasti aku ganti deh,"
Mendengar itu, Jose malah tertawa. Sedangkan Giselle hanya memandangnya bingung.
"Kamu mau tetap disitu ?!" Tanya Jose, melangkah pergi.
"Eh," Lambat sadarnya, Giselle berjalan menyusul Jose serta tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mbak penjual minuman itu.
"Kamu tadi jalan kaki ?" Tanya Jose.
"Iya," Giselle mengangguk.
"Beli minumnya banyak banget, buat siapa aja ?"
"Iya, untuk kakak sama teman-temannya. Mereka lagi kerjakan tugas dan minta tolong aku beliin minuman."
"Oh~" Jose mengangguk.
Keduanya berjalan bersama dalam diam. Meski sebenarnya, debaran jantung mereka benar-benar tidak mau diam.
Bunga itu mudah sekali mekar ya, mendapat air yang menguap menjadi empun pagi hingga matahari menyinari menyempurnakan proses fotosintesis.
Sungguh indah...
#Jo&Gi
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Embun Pagi
Teen FictionSemua orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Tapi yang membuat berbeda adalah cara kita menyingkapinya. Dan, bagaimana masalah itu menjadikan diri kita semakin dewasa. Salam, Mayluv 🌼