Kantin

4.1K 243 2
                                    

Lupakan kejadian semalam. Karena aku benar-benar tidak ingin berpikir apapun tentang Zalfa, apalagi pikiran buruk. Aku harus segera mengenyahkannya jauh-jauh dari pikiranku. Sebenarnya aku tidak peduli tentang Gafi. Disini, aku peduli tentang Zalfa.

Kalau saja benar wanita yang memeluk Gafi semalam adalah sahabatku sendiri, maka aku akan menjadi benteng untuk Zalfa. Aku tidak ingin Zalfa jatuh ke tangan cowok brengsek seperti Gafi.

Tapi rasanya tidak mungkin jika benar wanita itu Zalfa. Melihat Zalfa yang begitu benci dan tidak suka pada Gafi sudah cukup membuktikan semuanya, bahwa wanita kemarin bukan Zalfa. Dan tidak mungkin Zalfa.

"Bengong mulu kan kerjaannya."

Aku mendongak, melihat Zalfa yang baru saja kembali setelah memesan bakso Mang Ifan.

"Nih minum dulu. Gue khawatir lo dehidrasi, makanya bengong mulu." Zalfa menyodorkan satu botol air putih dingin, lalu cewek itu duduk setelah melambai ke pojok sebelah kiri.

Aku tidak heran lagi kenapa sebelum duduk Zalfa selalu melambaikan tangan ke pojok kiri. karena setelah itu, Gibran akan segera berjalan ke arah meja kami dan duduk di samping Zalfa. Tepat di hadapanku.

Tepat beberapa detik, Gibran datang dan duduk di samping Zalfa. Seperti biasa, Gibran selalu menyentil dahi ku setelah duduk. Katanya tujuannya agar aku tidak menunduk, dan bisa melihat kemesraan pasangan sempurna sedunia.

Cih, pasangan sempurna apa? Mereka bahkan lebih cocok menjadi pasangan ter lebay dan terberlebihan sedunia.

"Zein?."

Aku kembali mendongak, mengangkat sebelah halis ku sebagai tanda respon.

"Gimana?."

Aku menyerngit bingung saat Gibran malah tersenyum jahil seraya menaik-naikkan kedua halis nya. "Gimana apa?."

"Ck, masa sih gue harus to the poin."

Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan Gibran, serius. Ku lihat Zalfa sama bingungnya denganku.

"Apa sih?."

"Kemarin lo ke rumah Geri kan?."

Uhuk

Saking berefeknya ucapan Gibran, aku yang sama sekali tidak sedang mengunyah makanan langsung tersedak. Refleks aku menatap Zalfa yang menatapku cengo, seperti tidak percaya. Aku yakin setelah Gibran pergi, Zalfa pasti akan menyerbu ku dengan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Terus, gimana rasanya masuk ke kamar si Geri?."

Sumpah. Kalau saja bisa, detik ini juga aku pasti akan melemparkan sambal ke mulut Gibran. Aku tidak mengerti, mengapa Gibran bisa tau? Tidak mungkin kan, kalau Geri— si cowok pelit bicara itu dengan senang hati menceritakan tentang aku yang datang ke rumahnya, unfaedah.

"Gue gak ke rumah Geri." Basi, alasanku basi memang. Tapi aku bingung, alasan apa yang tepat untuk menyangkal kebenaran yang Gibran katakan.

"Halahh, basi banget lo Zei." Gibran terkekeh, diikuti Zalfa yang mungkin hanya pura-pura terkekeh.

"Males banget sih kalian."

"Oke-oke, skip yang. Kita bicarain yang lain aja." Ujar Zalfa saat melihat perubahan wajahku yang sudah gerah.

Aku menghela nafas, lalu menidurkan kepalaku di atas meja.

"Bran? kemarin ya, aku liat Gafi di jalan. Kok mukanya lebam-lebam?.

Mendengar soal Gafi, entah kenapa aku begitu semangat. Saking semangatnya aku langsung menegakan tubuhku, bersiap mendengarkan penjelasan Gibran.

"Biasa, berantem si eta mah."

"Sama siapa?." Oke, jiwa ke kepoan Zalfa sepertinya mendadak pindah kepadaku.

"Kepo juga kan lo?." Tanya Zalfa dengan gaya sebal. Mungkin maksudnya dia ingin membela dirinya sendiri, karena dulu aku sering mengejeknya dengan embel-embel Miss kepo.

"Geri."

Aku terdiam. Kakiku terasa tidak bisa bergerak. Sungguh, aku tak tahu respon apa yang harus aku tunjukan.

Lo mau gue ngehajar Gafi?

Ucapan Geri, entah kenapa kembali terngiang begitu saja di pikiranku. Geri ternyata benar menghajar Gafi. Tapi Atas dasar apa?.

******

Maaf baru update..
Malem update lagi, tapi gak janji.

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang