Ingin Hilang

3.7K 223 11
                                    

Hal pertama yang kulihat di dalam kelas adalah Abi, si ketua kelas sekaligus kebanggaan guru. Aku sengaja datang lebih awal ke sekolah demi menjaga jarak dengan Geri.

Geri masih di rumahku. Kejadian semalam membuatku tidak bisa tidur dan bangun lebih awal. Sudah kuputuskan kan, bahwa mulai hari ini aku harus benar-benar menjauhi Geri. Ya walaupun aku harus tinggal di rumahnya, aku tetap harus bisa menjaga jarak sebisa mungkin.

"Tumben." Abi duduk di sebelahku, menyodorkan coklat batang yang setiap hari ia kasih kepada siapapun yang datang lebih awal.

Aku melirik Abi sebentar, "Makasih." Ucapku seraya membawa coklat dari tangan Abi.

Abi mengangguk.

Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku bersama pikiranku yang memikirkan cara supaya bisa membujuk tante Hanum agar mengijinkan ku tinggal di rumah Zalfa, dan Abi bersama pikirannya yang entah memikirkan apa.

Mungkin ini pertama kalinya aku sedekat ini dengan Abi, sampai rasanya keadaan terasa canggung. Aku tidak mudah untuk berteman, jadi aku tidak banyak interaksi bersama teman kelas. Termasuk Abi.

"Emm, Zei?."

"Hm?." Aku tidak menatap Abi. Aku tetap fokus mengeluarkan buku catatan dan menulis beberapa catatan yang tertinggal.

Kurasakan Abi menegakkan tubuhnya, lalu berbalik sepenuhnya ke arahku.

Aku sedikit tersentak karena sekarang jarakku dan Abi sangat dekat. Membuat lututnya dan pahaku bersentuhan. "Mm, maaf." Ucapku sedikit menggeser.

Abi menggangguk paham, "Kata Zalfa lo suka aktif di organisasi. Lo mau gak, daftar jadi anggota OSIS bareng gue? Kali aja gitu."

Aku tertegun sebentar, mencoba memahami kata-kata Abi. Tadinya aku memang berniat untuk menjadi anggota OSIS. Namun setelah dipikir-pikir aku tidak bisa melanjutkan niatku karena menjadi anggota OSIS pasti akan banyak mengadakan pertemuan dan rapat bersama ketua OSIS yang tak lain adalah seseorang yang harusku hindari.

"Gimana? Mau?." Tanya abi penuh harap.

Aku menatap Abi sebentar, "Nggak, Bi."

"Loh, bukannya kata Zalfa lo-?."

"Dulu." Sebelum kenal Geri.

Abi membuang nafas panjang, "Yahhh, padahal tadinya gue ngarep banget lo mau."

"Maaf Bi." Jawabku seraya tersenyum tidak enak.

"Gapapa sih, gue gak bisa maksa." Abi terdiam sebentar, terlihat memikirkan sesuatu. "Oh ya, ngomong-ngomong ini pertama kalinya kita ngobrolkan?."

Aku menggangguk sebagai jawaban. Ini memang pertama kalinya kita mengobrol. Biasanya Abi hanya menghampiriku untuk menjahili Zalfa, itupun tidak menyapaku sama sekali.

Abi terkekeh, "Ternyata lo gak seperti yang anak kelas bilang."

Ucapan Abi sempurna membuatku menoleh ke arahnya. Anak kelas? Memangnya mereka bicara apa tentangku. "Bilang apa?."

"Anak kelas?."

"Iya."

"Mm, mereka bilang kalau lo jutek. Pelit bicara, gak mudah berbaur juga."

Kalau tidak mudah berbaur memang sudah menjadi sifatku. Namun jika Jutek dan pelit bicara, aku rasa aku tidak seperti itu. Mereka hanya belum mengenalku. "Lo percaya?."

Abi menggeleng, "nggak."

"Gue yakin lo orang nya asik." Lanjutnya seraya merangkul pundakku.

Aku sedikit tidak nyaman. Pasalnya ini hari pertama aku sedekat ini dengan Abi. Mau melepaskan rangkulannya dipundak ku, tapi aku tidak enak. Nanti jika Abi berpikir yang tidak-tidak gimana.

Tak lama sebuah tarikan di lenganku membuat rangkulan Abi terlepas. Abi terkejut, begitupun dengan aku.

"Geri." Gumamku seraya menatap Geri bingung. Kenapa Geri sudah sampai di sekolah. Bukannya ia harus dapat banyak waktu untuk bersiap-siap?.

Geri menatapku dingin, lalu beralih menatap Abi. "Ikut gue." Ucapnya seraya menarik ku keluar kelas.

Aku berontak, mencoba untuk melepaskan cekalan Geri di lenganku. "Ger, kenapa sih?."

Cekalan Geri ditanganku baru terlepas saat sudah sampai di depan kelasnya.

Aku menatap Geri kesal dan bingung. Kenapa Geri selalu seenaknya membawaku kemana saja tanpa persetujuanku. Padahalkan aku sedang menghindarinya.

Geri membuang nafas berat. Ia seperti ingin berbicara namun ragu. Dan hal yang akan Geri bicarakan, seperti hal yang mengganggu pikirannya.

"Kenapa?."

Geri tampak berpikir sebentar, "Kenapa lo dirangkul gitu?." Tanyanya dengan nada sedikit kesal.

Hell? Aku tidak salah dengar kan?.

Kerutan di dahiku bertambah, "maksudnya?."

"Itu temen kelas lo?."

Aku mengangguk pelan, "iya."

"Oh." Geri diam sebentar. "Lo kenapa mau-maunya aja dirangkul kaya gitu?."

Aku semakin menyerngit bingung. Masalah Geri apa sih sebenarnya. "Abi kan temen gu-."

"Gue tau." Potong Geri cepat. "Besok-besok jauhin."

Geri ini- kenapa sih. "Kenapa?."

"Gak suka aja gue."

"Tapi kan Abi cu-."

Geri mendengus, "Sama aja. Pokonya lo gak boleh deket-deket."

"Tap-."

"Gue balik. Pulang sekolah gue tunggu di depan." Ucapnya lalu berlalu keluar gerbang.

Aku menatap punggung Geri kesal. Kuhentakkan salah satu kakiku ke lantai, lalu berbalik untuk kembali ke kelas dan-

Brukk

Refleks aku memegang hidungku yang berdenyut akibat benturan dengan seseorang yang kini memegang pundakku erat.

Aku mendongak, menatap seseorang yang baru saja menubrukku.

Damn! Ternyata Gafi.

Aku menelan saliva susah saat melihat Gafi menatapku marah.

"Lo sama Geri-?." Tanyanya ambigu.

"Iya."

Belum sempat aku menjawab, seseorang di belakangku bersuara. Sontak membuatku langsung berbalik menatapnya.

Sial! Kenapa Geri balik lagi?!. Dan apa tadi katanya, iya?. Iya apa coba.

Gafi menatapku dan Geri tidak terima. "Lo." Gafi menunjuk Geri, "Pacar Zein?."

"Iya." Jawab Geri menggangguk mantap.

Aku mematung.

Saat Gafi ingin menarik lenganku, Geri lebih dulu menarikku kebelakang tubuh tingginya.

Damn! Keadaan seperti apa ini! Rasanya aku ingin langsung menghilang saja.

*********

Ngantuk:(

Selamat membacaaaa

Semoga kalian sehat selaluu

Kali ini aku gak bakal banyak bacot. Ngantuk banget sumpah.

Besok up lagi ya..

Makasih buat kalian yg selalu semangatin akuu❤❤

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang