Jangan pergi

4.1K 250 5
                                    


Tidak tau sejak kapan aku tertidur, sampai sebuah dobrakan pintu membuatku terbangun.

Entah karena terlalu banyak menangis dan meringis merasakan sakit di kedua pergelangan tangan dan kaki, saat membuka mata rasanya kepalaku langsung pening. Membuatku harus menyipitkan mata seraya memegang kepala.

Suara dobrakan itu kembali terdengar. Kondisiku sudah tidak berdaya untuk sekedar berteriak meminta tolong. Kurasakan sekujur badanku panas dan lemas.

Brakk

Suara pintu terbuka bersamaan langkah kaki yang terburu-buru masuk ke dalam. Aku tidak bisa melihat apa-apa karena ruangan sudah sangat gelap.

"Zein!."

Suara itu, suara yang sangat ku kenali.

Aku bersyukur akhirnya seseorang datang dan menolongku. Aku tidak peduli dia siapa, yang penting aku bisa keluar dari sini dan pulang.

"Zein!."

Seseorang menarik tubuhku kedalam pelukannya. Dia memeluk ku erat. Sangat erat. Rasanya sama seperti di halaman belakang sekolah. Namun ini sedikit lebih erat dari siang tadi.

Aku tidak tau harus membalas atau tetap diam. Aku hanya ingin segera keluar dari sini.

Geri segera melepas lakban yang menutupi mulutku, lalu mengusap pelan bekas lakban itu yang meninggalkan bekas di pipi dan sudut bibirku.

Aku bernafas sebanyak-banyak nya saat lakban itu terlepas. Geri melepas ikatan di tangan dan kakiku dengan hati-hati.

"Sakit?." Tanyanya saat mendengar aku meringis.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Melihat Geri aku kembali mengingat perkataan Emeli tentangnya. Aku harus apa? Lidahku terasa kelu untuk sekedar mengucapkan terimakasih. Alhasil aku hanya menangis tanpa mengatakan apa-apa.

"Pake." Ucapnya seraya menyelimuti tubuh bagian atas ku dengan jaket. Aku tidak mengerti kenapa Geri bisa tau aku ada disini? Sedangkan yang tau hanya Emeli dan tiga antek-anteknya.

Tanpa mengatakan apa-apa Geri menggendong ku keluar dan berjalan menuju parkiran.

Keadaan sekolah sangat gelap. Entah berapa jam lamanya aku terkurung di gudang. Namun yang jelas itu sangat lama.

Geri membuka pintu mobil, lalu mendudukan ku di kursi penumpang.
Aku benar-benar tidak bisa berkata apapun saat ini.

Pintu mobil bagian kanan terbuka, lalu Geri masuk dan duduk di sebelahku. Cowok itu menyandarkan punggungnya di kursi sebelum mengacak rambutnya gusar.

Bisakah ku artikan bahwa keadaan Geri sekarang kacau? Bahkan lebih kacau dari aku?

Geri membuang nafas panjang, lalu membalikan tubuhnya ke arahku. Jujur, aku tidak berani menatapnya selain memalingkan muka ke arah jendela.

"Siapa yang berani lakuin ini sama lo?."

Aku tidak menjawab. Tapi selanjutnya tangan Geri terulur meraih wajahku dan membalikannya sampai aku bisa melihat jelas tatapan Geri yang masih terlihat khawatir.

Tunggu, khawatir?.

Cih, untuk apa dia khawatir kalau selama ini kebaikannya ternyata bohong. Bukannya aku hanya mainannya?.

"Emeli? Dia yang lakuin ini sama lo?."

Aku tidak menjawab. Aku tetap diam dengan semua pikiranku yang melayang-layang entah memikirkan apa.

"Gue nanya sama lo."

"..."

"Zein."

"..."

Geri berdecih, ia melepas tangannya dari wajahku. Lalu menghidupkan mesin mobil dan melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi.

"Lo gak bisu." Gumam Geri pelan namun tetap bisa ku dengar.

Geri mendengus, "Gue nyari lo kemana-mana, sampai bunda marahin gue dan ngancem jangan pulang ke rumah sebelum gue nemuin lo. Gue cuman pengen lo jawab pertanyaan gue. Tapi lo? Diem." Ujarnya panjang lebar dengan nada dingin.

Aku tertegun sebentar. Ini Geri? Geri si cuek dan irit bicara?. Melihatnya sekarang aku ingin tertawa, aku kira Geri akan selamanya pelit bicara.

Laju mobil kembali ke kecepatan normal. Membuatku bisa kembali menyandarkan punggung.

"Jawab gue. Emeli yang lakuin ini?."

Aku melirik Geri sebentar, lalu kembali memalingkan wajah.

Geri berdecak, "Gue tanya, Emeli yang lakuin ini sama lo? Lo bisa ngomongkan? Gue harap kejadian tadi gak bikin lo tuli."

Aku kesal, akhirnya aku melirik Geri sepenuhnya. "Gue gak tuli."

"Kalau gitu jawab gue. Bener, yang lakuin ini Emeli?."

Aku tidak bisa menjawab. Mau bagaimanapun Emeli, aku tidak bisa melaporkannnya. Aku tidak mau membuat masalah lagi. Cukup hari ini, dan aku harap itu yang terakhir.

Geri kembali berdecih, menatapku tajam lalu kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Namun sepertinya Geri tidak akan tenang sebelum pertanyaannya terjawab. "Gue tanya sekali lagi! Emeli kan yang lakuin ini? Iya? Jawab! Lo gak bisu bego!." Tanya Geri Membentak.

Mendengar kalimat bego keluar dari mulut Geri membuat mataku kembali berkaca-kaca. Aku menghapus bekas air mataku, "Gue mau turun."

Sudah cukup. Sedari tadi aku menahan untuk tidak menangis lagi dan tetap kuat walaupun berada di sisi Geri. Mungkin tanpa sadar aku sudah membuka hati untuk Geri. Sampai saat aku menerima kabar dari Emeli tentang Geri yang ternyata hanya mempermainkan ku, rasanya sesak dan begitu tidak mengenakan.

Perasaan yang kurasakan sekarang sangat beda jika di bandingkan dengan Gafi. Saat aku mengetahui Gafi ternyata pacar Emeli, rasanya tidak se sakit ini. Malah bisa dikatakan aku tidak merasakannya. Lalu kenapa dengan Geri rasanya sangat sakit.

Geri tidak kunjung menghentikan mobilnya."Gue mau turun!." Aku tidak bisa menahan lagi untuk tidak membentak.

Geri terdiam. Cowok itu sempat memelankan laju mobilnya, namun sedetik kemudian kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan normal.

"Ger, gue mau turun!." Air mata yang sedari tadi ku tahan akhirnya keluar.

Geri menatapku sekilas, ia tampak gusar antara menuruti keinginanku atau tetap melaju.

"Ger!." Aku menangis. Membuat Geri terpaksa menepikan mobilnya.

"Zei gue—."

"Ngga, lo gak boleh ngomong apa-apa." Jawabku cepat.

Geri diam, terlihat pasrah menuruti keinginanku. Seharusnya aku segera keluar, tapi entah dorongan darimana yang menyuruhku untuk tetap diam.

Suasana hening. Mungkin Geri menunggu untuk segera keluar.

"Makasih." Gumamku pelan.

Aku membuka seatbelt. Lalu bersiap membuka pintu mobil.

Aku sedikit terkejut saat Geri menarik tanganku, dan mengaitkan jemari-jemarinya dengan jemariku.

Aku tertegun. Menatap Geri yang menatapku dengan tatapan sendu. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Tolong ini kenapa. Kenapa Geri— bersikap seperti ini.

Geri sedikit menundukkan kepalanya,  genggaman tangannya di tanganku menjadi lebih erat. Geri kembali mengangkat kepalanya, membuang nafas panjang sebelum berbicara yang membuatku kembali mematung. "Maaf. Gue mohon jangan pergi."

**********

Akhirnya update

Oh iya, seperti biasa aku mau ucapin terimakasih sama kalian yang selalu stay nunggu aku up dengan sabar. Terimakasih juga untuk kalian yang selalu vote dan komen yang jujur itu buat aku semangat bangett.

Pokonya terima kasih sebanyak-banyaknya❤

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang