Luna

3.8K 215 22
                                    

Aku berdecak melihat kelakuan Zalfa. Mata cewek itu bergantian melihat Pak Andi dan ponselnya yang di taruh di bawah meja. Aku menggeleng pelan, lalu kembali menyatat catatan yang di tulis di depan.

"Eh, Zei." Ucap Zalfa berbisik.

"Hm?." Aku melirik Zalfa sebentar, lalu kembali memfokuskan mataku ke depan.

Kulihat Zalfa menyimpan ponselnya dengan senyum merekah. "Pulang nanti anter gue ya?."

"Kemana?."

Zalfa bergumam, "Jadi gini loh Zei, pulang sekolah nanti gue di ajak ke rumah Gibran."

"Terus?."

"Ishh, belum selesai ngomong juga." Zalfa memukul lenganku pelan, lalu kembali melanjutkan ucapannya.

"Ya.. gue kan belum punya pengalaman dikenalin sama calon mertua. Jadi gue pikir kalau lo ikut, gue gak bak—."

"Nggak, gak mau gue." Potongku cepat. Mana bisa aku ikut, yang ada nanti jadi nyamuk. Lagian Gibran pasti tidak mau jika aku ikut saat pacarnya akan dikenalkan dengan orangtuanya.

Zalfa menatapku cemberut, "Zeinnnnn, tapi kan gue butuh lo. Nanti kalau gue gorogi gimana?" Ucapnya seraya menyimpan lengannya di depan dada.

Aku ikut menirukan gaya Zalfa, "Nanti kalau gue jadi nyamuk gimana?." Tanyaku balik membuat Zalfa makin memajukan bibir bawahnya.

"Oke, sampai sini dulu. Minggu depan laporan kalian tentang tugas yang Bapak berikan harus selesai."

Aku dan Zalfa sontak menatap ke depan, takut-takut Pak Andi melihat kami mengobrol.

"Kalian bisa pulang sekarang." Ucap Pak Andi sebelum pergi.

Ruang kelas yang tadinya sepi mendadak jadi riuh dan berisik. Terutama mahluk yang duduk di sebelahku. Zalfa menjerit kesenangan karena jadwal pulang yang seharusnya 20 menit lagi, kini dengan baik hati Pak Andi mempersilahkan kami pulang lebih awal. Dengan begitu Zalfa mempunyai waktu untuk berdandan sebelum bertemu dengan Gibran.

"Zei."

Aku melirik Abi yang tengah berjalan ke arahku. "Sekarang jadwal piket lo." Ucapnya seraya duduk di atas meja.

Aku mengangguk, lalu menoleh ke arah Zalfa yang tengah bersiap keluar. "Fa, gue piket dulu."

"Iya, gue tunggu di parkiran." Zalfa bangkit, lalu berlari keluar kelas menyusul teman-teman yang lain.

Sekarang hanya ada aku dan Abi. Aku menatap Abi bingung. Kenapa Abi masih disini, biasanya kan ia paling semangat jika menyangkut pulang.

"Gak pulang?."

Abi menggeleng, "Bantuin lo dulu."

Ucapan Geri yang menyuruhku menjauhi Abi tiba-tiba terngiang begitu saja ditelingaku.

Aku menatap Abi tidak enak, "Gak usah, lagian cuman sapu-sapu doang." Ucapku seraya bangkit dan berjalan menuju pojok kelas untuk mengambil sapu.

"Kalau gitu gue temenin."

Aku kembali ingin mencari alasan agar Abi pulang dan meninggalkanku sediri. Kalau Geri melihatku dan Abi berdua disini bisa-bisa urusannya panjang. Apalagi setelah kejadian tadi pagi. Saat Geri dengan percaya diri mengatakan bahwa aku pacarnya, dan melarang Gafi menyuruh-nyuruhku lagi.

Aku dibuat terbang dengan sikap Geri tadi pagi. Bukan hanya menyuruh Gafi untuk tidak menyuruh-nyuruhku lagi, Geri juga memberi Gafi peringatan agar tidak mendekatiku lagi. Karena itu hanya akan membawa masalah untukku.

Aku sadar ucapan Geri tadi pagi yang menyatakan bahwa aku pacarnya, itu tidak serius. Geri mungkin hanya ingin Gafi tidak menyuruh-nyuruhku lagi.

Jadi, aku harus tetap menjaga hatiku agar tidak terlalu jauh menyukai Geri. Aku sadar siapa aku dan siapa Geri. Tapi setelah kejadian tadi pagi kenapa rasanya susah sekali untuk menjaga jarak dengan Geri dan mencoba untuk tidak peduli lagi dengannya.

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang