Mungkinkah?

4.1K 233 2
                                    


"Pulang atau gak sama sekali?."

Aku terdiam. Merasa itu sebuah perintah yang tidak bisa ku langgar.
Huh, Geri susah untukku tebak.

Aku berbalik mengambil tas, lalu berjalan menyusul Geri. Aku tidak tau reaksi apa yang akan Gafi tunjukan besok. Entahlah, perkataan Geri tak bisa kubantah. Kakiku terus melangkah hingga kini aku telah duduk di dalam mobilnya.

Mataku mengerjap saat Geri memasangkan seatbelt. Aku meneguk ludah ketika tatapanku dan Geri bertemu. Cukup lama sebelum akhirnya kuputuskan kontak mata dengan menatap ke arah lain.

Geri berdehem, terlihat sama canggung nya sepertiku.

"Kenapa gak jalan?." Ucapku menyadarkan Geri.

Geri hanya mengangguk, lalu melajukan mobilnya menerobos keramaian kota Jakarta.

Ngomong-ngomong tentang Geri, aku jadi ingat percakapan di kantin tadi saat bersama Zalfa dan Gibran. Tentang siapa yang membuat wajah Gafi lebam-lebam.

Satu yang membuatku bertanya-tanya, kenapa Geri berani berkelahi dengan sepupunya sendiri hanya karena aku?.

Tapi— apakah benar karena aku? Mungkinkah?.

Ah, aku menggeleng-geleng. Tidak mungkin karena aku, pasti ada hal lain yang membuat Geri dengan terpaksa berkelahi dengan Gafi.

"Tur—."

"Ger?" Sadar sudah di depan rumah, aku segera berbalik menatap Geri. Aku menatapnya sambil melepas seatbelt.

Geri menaikan satu halisnya sebagai tanda respon. Tenggorokanku mendadak kering sekarang. "Makasih udah nganterin." Tidak, bukan itu yang seharusnya ku ucapkan. Sebenarnya Aku ingin bertanya, benarkah perkelahiannya dengan Gafi gara-gara aku. Namun tidak, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.

"Hm." Balasnya singkat. Dia hanya melihatku sekilas lalu pandangannya beralih memandang kaca depan.

Aku menghela nafas, lalu tanganku bergerak membuka pintu.

"Lo kenapa?."

Pertanyaan Geri membuat pergerakan ku berhenti. Aku menoleh menatap Geri bingung. "Kenapa apa?." Perasaan aku tidak kenapa-kenapa.

Geri menghela nafas, lalu menggeleng pelan. "Turun."

Kerutan di dahiku bertambah. Geri kenapa sih?.

Aku menutup pelan pintu mobil Geri. Baru saja ingin membungkuk mengucapkan terima kasih sekali lagi, Geri malah melajukan mobilnya begitu saja. Membuatku menghela nafas sebelum masuk ke dalam.

******

Aku menuangkan air ke dalam mug semangka. Lalu berjalan menuju sofa dekat Faqih duduk.

Faqih tengah bermain PS, sampai tidak sadar dengan keberadaanku. "Anjing! Bangsat!." Pekiknya saat permainanan nya kalah.

Seketika aku membulatkan mata.

Sumpah demi apapun, ini pertama kalinya aku mendengar Faqih berkata kasar.

Seumur hidup, aku tidak pernah mendengar kata kata kasar keluar dari mulut Faqih.

"APA?!." Spontan aku menabok mulut Faqih.

Faqih terkejut, ia langsung menutup mulutnya dengan bantal sofa.

"Ngomong apa lo tadi?." tanya ku dengan nada yang sengaja di buat buat. Tujuannya agar bunda mendengar.

Faqih terlihat gelagapan.
Menyenangkan bisa mengerjai Faqih.

Sebenarnya aku tidak marah. Serius. Hanya saja aku ingin mengerjai Faqih. Sekali sekali melihat adik menderita gapapa kali ya.

"Ada apa Zein?." Tanya Bunda sedikit berteriak, karena bunda berada di lantai atas.

Faqih semakin gelagapan dan takut saat bunda tiba tiba bertanya. Fasalnya, bunda menegaskan kepada anak anaknya untuk tidak berkata kasar

Siapa saja diantara kami yang berkata kasar, Bunda akan memotong uang jajan selama 10 hari.

"BUNDA! FAQIH NGOMONGNYA KASAR. GAK SUKA!." 

Dengan cepat, Faqih langsung membungkam mulutku dengan tangannya.

"Seneng banget lo nyakitin gue." Ujarnya sedikit berbisik dengan wajah yang berubah kesal.

Tatapan ku beralih menatap bunda yang kini tengah berjalan ke arah kami.

"Awww! Bun sakit shhh."

Aku berusaha menahan tawa saat bunda berhasil menjewer telinga Faqih. Ralat. Lebih tepatnya, ketika melihat wajah memohon Faqih.

Menurutku jika sedang bersama bunda, Faqih mendadak menjadi anak kecil. Beda halnya jika bersamaku, Faqih akan terlihat menjengkelkan dan menyebalkan.

"Bun, ampun. Tadi keceplosan bun."

Aku menggeleng pelan, lalu bangkit sambil membawa mug semangka. Saat hendak menaiki anak tangga ke dua, suara bunda membuatku berhenti. Aku menoleh, menunggu bunda melanjutkan ucapannya.

"Tadi Alfi kesini, nanyain kamu. Katanya kalau ada waktu kamu di suruh nemuin Alfi, di tempat biasa."

Ucapan bunda— benar-benar berhasil membuatku mematung.

********

Jangan lupa cuci tangan, minum yang banyak dan tidur yang teratur yaaaa!

Jangan lupa juga kerjain tugas sekolahnyaaaa!

Selamat membacaa

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang