Vidio

2.9K 201 18
                                    

Kosong. Tatapanku kosong melihat jalanan Jakarta yang begitu padat. Mataku terarah ke jalanan, namun pikiranku melayang entah kemana. Tanganku yang memegang koper makin mengerat saat tak sengaja melihat motor Geri yang melaju kencang dari arah berlawanan. Dia.. baru pulang?.

Aku menelan ludah getir. Rasa sesak kembali menjalar saat melihat Geri. Aku tidak tau apakah keputusanku benar atau salah. Tapi aku tidak bisa terus tinggal di rumah Geri. Karena aku yakin, setelah malam tadi pasti ada malam-malam selanjutnya yang membuatku berada diposisi yang sama. Sendiri, ketakutan, tidak ada Geri, dan aku benci situasi seperti itu. Situasi dimana aku menyerah, situasi dimana aku sendiri, situsi dimana aku menangis dan kalah.

Tanpa sadar air mataku kembali mengalir. Dengan cepat aku segera mengusapnya. Aku tidak ingin menangis lagi, sudah cukup malam tadi aku tidak tertidur karena terus menangis.

Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh egois. Aku harus memaafkan Geri walaupun aku memang kecewa. Aku tidak ingin terus seperti ini, karena ini hanya akan memperparah keadaan. Aku harus melupakan kejadian semalam dan kembali  pada Geri dalam keadaan normal seperti biasa.

Aku tersenyum, "Semangat." gumamku pelan.

Drttt drttt

Hapeku yang disimpan di atas tas menyala, menampilkan nama Gafi di atasnya.

"Zein?" Baru saja panggilan ku angkat, suara dari sebrang sana langsung terdengar.

"Gimana Fi?."

"Semalam lo tanya siapa Luna kan?."

Aku terdiam sebentar, "Iya."

"Kalau gue kasih tau, lo bakal sakit hati. Tapi kalau nggak, sama aja gue ngebodohin lo."

Perkataan Gafi yang penuh makna langsung membuatku mengerti, bahwa perempuan bernama Luna mempunyai kedudukan spesial di hati Geri. Aku tersenyum getir, menengadahkan kepalaku ke atas agar air mata itu tidak kembali keluar. "Gue ngerti, gue pasti kuat kok."

Terdengar helaan nafas dari sebrang sana sebelum Gafi kembali melanjutkan ucapannya. "Sebelumnya gue mau tanya, apa lo cinta banget sama Geri?."

Ya, sangat. Lebih dari apapun. "Iya."

"Oke, gue ngerti. Gue gak mau kasih tau lo langsung, gue harap lo ngerti. Gue bakal kirimin vidio. Vidio itu udah cukup jawab semua pertanyaan lo."

"Iya. Makasih Gaf."

"Sama-sama." Sambungan telpon terputus. Aku menghela nafas panjang, lalu menyandarkan tubuhku di kursi mobil.

Tak lama suara notifikasi hape berbunyi. Aku segera mengambilnya dan membuka vidio yang Geri kirim.

Vidio itu mulai terputar. Yang membuatku kaget adalah, di dalam vidio ini Geri tengah berjalan tergesa memasuki salah satu ruangan bersama seorang wanita yang kutemui di Gudras waktu itu. Aku tidak kaget dengan wanita itu, aku hanya kaget karena Geri memasuki salah satu ruangan rumah sakit dengan keadaan cemas dan khawatir.

Sepertinya vidio ini di ambil dengan sengaja, karena setelah Geri memasuki ruangan, Vidio ini masih berlanjut. Memperlihatkan ruangan yang sangat berantakan.

Geri dan perempuan itu terlihat sangat panik. Tanganku semakin dingin saat melihat Geri mendobrak pintu kamar mandi. Apa yang membuatnya semarah itu? Apa yang membuatnya sehawatir itu?.

Dengan sekali hentakan pintu itu langsung terbuka, menampilkan seorang perempuan dengan keadaan naas. Nafasku kembali tercekat, sampai rasanya kali ini aku merasa tidak mendapatkan pasokan oksigen saat melihat Geri berteriak memanggil nama 'Luna'.

Perempuan itu.. Luna?

Geri merengkuh tubuh perempuan itu, memeluknya erat setelah membuang pisau yang tertancap di pergelangan tangannya. Tanganku langsung mengepal erat, jantungku berdetak sangat cepat, dan semua adrenalin dalam diriku bertambah dengan rasa pedih.

Geri memeluknya seolah ia tidak ingin kehilangan perempuan itu. Pemandangan saat Geri menggendongnya, memeluk perempuan itu kembali, menggenggam tangannya, dan marah saat dokter tidak kunjung datang, sukses membuat hatiku merasa ditusuk dengan benda tajam berkali-kali. Melihat keadaan Geri yang sangat kalut, membuatku sadar bahwa perempuan itu sangat berharga untuknya.

Bibirku bergetar, air mataku mulai keluar seiring dengan rasa sakit yang menyerang hatiku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Melihat seseorang yang kita cintai memperlakukan perempuan lain dengan sangat istimewa, benar-benar membuatku merasa menjadi satu-satunya perempuan yang menyedihkan.

Tidak kuat melihat kelanjutannya, aku segera mematikan hapeku. Namun panggilan masuk dari Geri membuat hapeku kembali menyala. Melihat namanya saja sukses membuat hatiku semakin merasa sakit. Aku tidak mengangkatnya. Aku membiarkan hapeku terus menyala menampilkan nama Geri.

Lama kelamaan panggilan dari Geri membuatku merasa terganggu. Tanpa berpikir panjang, aku segera membuka cast hapeku dan mencabut kartu. Lalu setelahnya ku buang kartu itu ke jalanan.

"Non, kita sudah sampai."

Suara supir taksi di depanku membuatku tersadar. Aku menatap sebuah rumah yang sudah sangat ku rindukan. Dengan air mata yang terus mengalir, aku segera keluar menyeret koperku.

Aku berjalan tergesa ke dalam rumah. Pintu rumah terbuka, cahaya matahari langsung menyeruak ke dalam. Aku mengusap pipiku yang basah, lalu menutup pintu dan menguncinya. Aku tau Geri pasti akan datang kesini, jadi aku akan mengunci semua pintu dan menutup semua gorden.

Untuk sekarang aku tidak mau bertemu dengan Geri. Aku ingin sendiri, menangis dan meluapkan semua emosi yang tertumpuk di hatiku.

Geri.. kamu membuat aku sadar bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang kamu cintai. Kamu membuat aku sadar bahwa aku bukan satu-satunya orang yang kamu perlakukan istimewa. Aku.. tidak lebih berharga dari Luna.

*********

Makasih banget buat kalian yang selalu semangatin aku. Entah itu melalui vote, atau komen, aku bener-bener ngucapin banyak terima kasihhhh  karena kalian aku jadi lebih semangattt❤❤

Siap chapter selanjutnya?


Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang