Party (2)

2.1K 166 37
                                    

Dari keramaian itu. Aku hanya bisa melihat pasangan yang baru saja menghampiri Gibran dan Zalfa.

Wanita itu.. terlihat sangat bahagia. Geri merangkul pinggangnya dengan posesif. Menambah kesan tidak ingin kehilangan walaupun sebentar saja.

Sudah berapa kali aku mencoba untuk tidak melihat mereka. Namun aku tidak bisa. Sangat sulit rasanya untuk mengalihkan tatapanku ke arah lain selain mereka.

Geri mengajak Luna untuk kembali duduk di meja yang terletak tak jauh dari mejaku. Aku makin menggigit bibir bawahku erat saat Geri membisikan sesuatu ke telinga Luna, membuat Luna memukul Geri pelan. Kemudian mereka tertawa bersama.

Aku tidak pernah melihat Geri sebahagia ini. Aku tidak pernah melihat senyum cerah Geri. Untuk pertama kalinya, aku melihat binar bahagia itu di mata Geri. Namun sayang, binar bahagia itu bukan karena aku. Melainkan karena Luna. Wanita yang benar-benar berarti untuk Geri. Wanita yang-- tidak pernah bisa Geri benci walaupun dia menyakitinya berkali-kali.

Pandanganku kembali terarah ke arah Geri dan Luna. Rasa sesak itu kembali datang saat Luna ingin menyuapkan cake ke dalam mulutnya, namun Geri segera mengambil alih sendok itu. Menyuapkannya sendiri ke dalam mulut Luna. Geri tersenyum geli saat Luna memakannya sepotong. Lalu tanpa pikir panjang, Geri menyuapkan sisa cake di sendok itu ke mulutnya.

Aku tersedak. Tidak ingin membuat hatiku semakin sesak, aku menunduk dalam, menyesap juice yang sedari tadi ku genggam erat.

"Mending lo pulang, sebelum lo tau seberapa gak berartinya lo dibanding Luna."

Kurasakan seseorang duduk di sampingku. Aku hanya tersenyum kecil, tidak berniat untuk mendongak menatapnya, ataupun membalas ucapannya. Aku lelah, lelah terus dibandingkan dengan Luna yang jelas-jelas aku kalah telak.

Alfi berdecih, "Lo bisa aja nipu semua orang dengan senyuman lo, tapi nggak buat gue. Lo emang senyum, tapi mata lo seolah menangis."

Aku menarik napas pelan, lalu menatap Alfi. "Makasih udah ngenal gue dengan baik." Aku kembali tersenyum kecil, lalu bersiap untuk beranjak pergi.

"Mau sampai kapan?"

Langkah ku terhenti. Aku menoleh ke belakang, menatap Alfi yang kini ikut berdiri dan menghampiriku.

Alfi tersenyum sinis, "Di mata Geri, lo cuman mainannya. Lo cuman cewek yang gampangan, makanya Geri jadiin lo sebagai mainan. Mainan harus siap terbuang saat ada mainan lain yang lebih baru dan bagus. Tapi bedanya disini, cuman lo yang jadi mainan Geri."

"Mau sampai kapan lo gini? Geri jelas-jelas gak peduli sama lo. Dia bahkan gak sadar lo ada disini. Lupain Geri, gue masih ada buat lo."

Aku mengepalkan tanganku erat. Entah kenapa perkataan Alfi sangat tajam sampai membuat hatiku terasa ngilu mendengarnya. Tatapanku kini beralih, menatap punggung Geri dan Luna yang kini mulai menjauh dari keramaian.

Aku tersenyum nanar, "Gue udah biasa dijadiin mainan. Bahkan sebelum Geri, lo yang lebih dulu jadiin gue sebagai mainan lo." Ucapku pelan, lalu berlalu pergi dari hadapan Alfi.

Aku tidak ingin membuat hatiku makin tersiksa mendengar perkataan Alfi yang memang benar. Aku memang tidak tau apakah Geri memang benar-benar menjadikanku sebagai mainannya atau tidak. Tapi yang jelas, sadar atau tidak sadar, Geri sama saja seperti menjadikanku mainannya. Mainan yang siap di buang.

Langkahku terayun ke taman belakang. Menghindari keramaian yang begitu menyesakan. Setidaknya di tempat sepi, aku akan merasa lebih baik walaupun memang tidak sepenuhnya baik.

"Aku sayang kamu Ger, aku gak mau kehilangan kamu lagi."

"Aku yang gak bakal ngelepas kamu lagi."

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang