Mabuk

3.7K 193 13
                                    

Sebelum baca chapter ini, aku mohon banget sama kalian yang masih Sd/SMP untuk langsung skip ke chapter selanjutnya. Chapter ini tidak diperuntukkan untuk Sd/SMP ataupun orang yang tidak suka dengan cerita yang sedikit dewasa, kalian bisa langsung skip ke chapter selanjutnya.

Mohon bijak dan mohon jangan hujat saya. Kalau kalian gak suka ceritanya, tolong tinggalkan saja.

Semua orang punya imajinasi liarnya masing-masing.

So buat kalian yang gak suka dengan adegan sedikit dewasa, kalian bisa langsung skip aja.

*******

Langkahku terhenti di depan gerbang rumah Zalfa. Pandanganku lurus menatap lelaki yang duduk di atas motor dengan helm yang masih bertengger di kepalanya. Tanpa perlu mendekat untuk melihat siapa orangnya, aku sudah tau. Siapa lagi kalau bukan Geri.

Abi yang baru saja turun dari rumah Zalfa, ikut menghentikan langkahnya dengan pandangan sama menatap Geri.

"Siapa?."

Aku melirik Abi sekilas, "Geri."

Abi menggangguk mengerti, lalu cowok itu menepuk pundakku pelan sebelum pergi mengambil motornya di garasi. Tadinya aku akan pulang bersama Abi karena tidak yakin Geri akan datang menjemput.

Oh ya, soal Geri yang melarangku terlalu dekat dengan Abi, sudah ku ceritakan langsung kepada orangnya. Untungnya Abi bukan orang yang berpikiran dangkal. Saat aku menjelaskan bahwa aku tidak bisa terlalu dekat dengannya, Abi memang terlihat sedikit kecewa, namun ia tetap mengerti dan tidak mendekatiku lagi seperti dulu.

"Zei, gue duluan." Ucap Abi seraya melajukan motornya keluar rumah Zalfa.

Aku menggangguk, lalu berjalan mendekat ke arah motor Geri terparkir.

"Kenapa jemput? Kan udah gue bilang gak us—." Ucapan dan langkahku sontak langsung terhenti saat kaca helm itu terbuka.

Damn! Itu bukan Geri, itu— Gafi.

Tapi kenapa Gafi? Maksudku, motor dan helm yang dikenakan Gafi adalah  milik Geri. Dan darimana Gafi tau kalau aku berada di rumah Zalfa?.

Apa Geri yang menyuruh Gafi kesini untuk menjemputku? Semudah itu?. Aku sedikit tidak yakin jika pemikiranku benar. Sebab melihat sikap Geri yang selalu menjauhkan ku dari Gafi, rasanya itu tidak mungkin.

"Gafi?." Gumamku masih menatap Gafi bingung.

Gafi tersenyum devil sebelum menarik tanganku untuk segera naik ke boncengannya.

"Kenapa bisa ada disini?."

Gafi terbahak mendengar pertanyaanku, seolah pertanyaanku lucu. "Menurut lo gue ngapain disini?."

Aku menghembuskan nafas berat seraya mengedikkan bahu tidak peduli.

Gafi kembali menarik tanganku agar segera naik keboncengannya. "Buruan naik, gue mau ngajak lo ke suatu tempat." Ucapnya dengan seringaian.

Aku menatap Gafi ngeri, namun tetap menurut naik keboncengannya. "Gue mau langsung pulang." Entah mengapa moodku sedikit tidak baik sekarang, ditambah perasaaku yang sedikit tidak enak.

"Gue gak butuh persetujuan lo buat bawa lo kesana." Jawab Gafi, lalu melajukan motornya meninggalkan rumah Zalfa.

Aku memukul bahu Gafi pelan, "Pokonya gue mau pulang."

Gafi menggeleng, "Sebelum jam sepuluh gue gak bakal nganter lo pulang." Ucapnya seraya menatapku lewat kaca spion.

Mataku terbelalak mengingat ini masih jam 7 malam. Itu artinya selama tiga jam kedepan, aku akan menghabiskan waktu dengan Gafi.

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang