Party (3)

3.3K 226 66
                                    

Aku menatap diriku di pantulan kaca. Menatap betapa hancurnya aku sekarang. Tidak, tidak ada air mata lagi. Aku tidak sebodoh itu. Aku tidak selemah itu sampai aku akan terus-terusan menangis karena Geri. Ini waktunya aku berhenti. Ini waktunya aku pergi.

Lebih baik pergi dan melupakan daripada harus berlarut-larut dalam kesedihan yang membuat hatiku semakin sakit.

Aku sudah hancur. Sudah cukup aku menangis dan berpikir untuk memberi Geri kesempatan karena berpikir dia keliru. Semua sudah jelas, Geri memilih Luna. Dan aku siap terbuang sekarang.

Aku menghapus air mataku yang terakhir. Setelah ini, aku akan menahan air mataku. Aku tidak akan menangis. Aku tidak mau terlihat lemah lagi, sungguh.

Aku menghembuskan nafas panjang, mengikat rambutku menjadi satu, lalu membasuh mataku yang sembab.

Suara pintu terbuka membuat pergerakan ku melambat. Aku mendongak, menatapnya dari pantulan cermin.

Aku mengerjap kaget melihat Luna kini tengah berdiri di sampingku, memperhatikan wajahku dari pantulan cermin.

"Hai." Luna tersenyum, dengan satu sudut bibir terangkat.

Sontak aku menegakkan tubuhku, menoleh ke samping untuk melihat langsung wajahnya.

"Ya?" tanyaku pelan dan bingung.

Hatiku rasanya meledak-ledak. Aku bingung harus apa di depan orang yang—— dicintai oleh orang yang kita cintai. Apalagi ini untuk pertama kalinya aku bertatap muka langsung dengan Luna. Ada perasaan untuk menghindar dan pergi secepatnya. Namun aku harus tetap disini, mendengar apa yang akan dia katakan padaku sekarang. Luna mungkin tidak sengaja bertemu denganku disini.

"Dengar." Luna menyimpan tasnya di atas wastafel. Berbalik menatapku seraya menyimpan lengannya di atas dada.

Aku meremas dress ku kuat, "Ya?" Tidak ada kata lain lagi selain itu. Aku benar-benar bingung harus menjawab dan melakukan apa. Hatiku berteriak memintaku pergi, namun otakku memintaku tetap tinggal dan mendengar apa yang akan dikatakannya.

Luna menatapku dari atas sampai bawah, "Lo gak secantik yang diomongin Geri ternyata." ujarnya dengan nada sinis.

Aku memicingkan mata tidak suka. Aku memang tau bahwa aku tidak secantik Luna, namun dia tidak perlu menyadarkan ku kembali. Karena itu membuat hatiku memanas dan kesal. Dan lagi, dia tidak secantik dan sebaik dengan apa yang aku bayangkan selama ini.

Luna terkekeh pelan, "Lo tau kan, siapa yang Geri pilih?" Satu sudut bibirnya kembali terangkat, tersenyum sinis.

"Gue." Lanjutnya bangga dengan menunjuk dirinya sendiri.

Aku menghembuskan nafas berat, masih diam. Aku pikir tidak ada gunanya menanggapi omongan Luna. Aku sudah tidak peduli sekarang. Geri telah mematahkan hatiku dan menghancurkannya sampai tidak tersisa lagi.

"Jadi Zein, lo mending mundur. Lo bukan saingan yang seimbang, lo terlalu rendah dan mudah untuk gue kalahin. Gue bakal bikin hati lo hancur sehancur hancurnya saat Geri lebih peduliin gue daripada lo. Gue bakal rubah rasa yang Geri punya ke lo, jadi rasa benci." Ujar Luna dengan kurang ajar mendorong tubuhku sampai menubruk tembok.

Aku mengepalkan tanganku kuat, mencoba menahan diri untuk tidak menarik rambutnya dan mencakar pipi merahnya. Itu—— memang terdengar jahat. Namun percayalah, melihat sikapnya yang begitu sombong dan tinggi, membuatku muak melihatnya.

Aku menghela nafas panjang, balik menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi. "Lo pikir gue peduli?"

Mendengar jawabanku, ekspresi wajah Luna berubah terkejut. Namun dengan cepat dia menormalkan nya kembali. Aku tau Luna hanya ingin menyulut emosiku. Jadi, aku tidak akan membiarkan Luna tertawa puas karena telah menyulut emosiku. Aku harus terlihat tenang dan tidak peduli.

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang