Kucing

3.2K 188 26
                                    

Aku masih enggan menatap Geri. Aku marah. Ya, marah karena Geri terus mengungkit-ungkit kejadian semalam yang membuatku malu dan kesal. Bukannya meminta maaf, Geri malah terus menggodaku tentang kejadian semalam.

Bukk

Aku melemparkan tas tote bag ku tepat ke wajah Geri. Barulah setelah itu Geri diam dan membiarkanku mengunci pintu rumah dengan tenang.

"Mau kemana?" tanyaku masih dengan nada kesal.

"Ikut aja."

Aku menghela nafas lelah. Perasaanku tidak karuan karena ucapan Alfi tadi. Tapi aku sedikit bersyukur karena aku datang lebih dulu sebelum Geri. Kalau saja cowok itu yang lebih dulu datang, bisa-bisa aku diintrogasi sampai besok.

Aku naik ke atas boncengannya setelah memakai helm. Geri menarik tanganku agar melingkar di pinggangnya. Tanpa banyak bicara aku segera menurutinya, melingkarkan tanganku di pinggangnya.

Entah kenapa, setelah percakapan dengan Alfi di taman tadi aku merasa terus khawatir dan takut. Takut apa yang dikatakan Alfi benar.

Perasaanku benar-benar tidak karuan memikirkan semua itu. Sejak tadi aku hanya diam, kadang hanya menjawab pertanyaan Geri dengan anggukan dan deheman.

"Lo bawa kunci rumah?" tanya Geri setelah melajukan motornya.

Aku menyerngit bingung, namun tetap menggangguk walaupun Geri tidak melihatku karena pandangannya fokus ke depan.

"Perasaan gue aja atau emang bener lo banyak diem sekarang?" kali ini Geri menatapku lewat kaca spion. Tangannya membenarkan kaca spion agar tepat mengarah ke wajahku.

Aku mendengus, "Perasaan gue aja atau emang bener kalo hari ini lo banyak ngomong?" balasku menirukan Geri, membuat Geri langsung menatapku tajam.

Aku berdecak, lalu menatapnya serius lewat kaca spion. "Sebenernya kita siapa?" tanyaku ambigu. Aku benar-benar berharap Geri mengerti dengan apa yang aku tanyakan.

Sekarang aku harus menanyakannya sebelum perasaanku lebih jauh dari ini. Ucapan Alfi benar-benar menggangguku, sampai-sampai aku berani menanyakan ini kepada Geri. Dan di waktu yang tidak tepat juga.

Geri tidak menjawab, cowok itu hanya menatapku dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Lalu motornya melaju lebih cepat dari sebelumnya.

Aku tersenyum miris. Diamnya Geri menjawab semuanya. Alfi dan Emeli benar, Geri hanya menjadikanku sebagai mainannya saja. Atau lebih dari itu. Bisa jadi Geri hanya menjadikanku pelampiasan selama tidak ada Luna.

"Lupain, lagian gue gak berhak nanya soal itu. Cuman Luna yang berhak."

Aku menarik tanganku yang melingkar di pinggang Geri. Namun dengan cepat Geri menariknya kembali, menggenggamnya kuat seolah tidak boleh terlepas sebentar saja.

Lama kelamaan genggaman Geri jadi semakin kuat membuatku meringis. Aku menyerngit bingung seraya menggigit bibir bawahku, menahan rasa perih di pergelangan akibat ulah Geri.

"Shh. Sakit, lepas." Aku berusaha menarik tanganku dari genggaman Geri. Tapi percuma, tenaga Geri lebih besar daripada tenagaku.

"Stop sebut nama Luna." ucapnya menatapku tajam.

Aku membalas tatapannya dingin, "Kenapa? Nama Luna terlalu spesial sampai-sampai gue gak boleh sebut namanya?."

Persetan dengan semua keberanianku yang kelewat berani. Hari ini aku merasa ingin meledak-ledak karena perasaan dan pikiranku yang tidak karuan. Bahkan aku mengabaikan rasa sakit di pergelangan tangan yang makin dicengkeram kuat oleh Geri.

Jelek, Bodo Amat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang