33. Malam terakhir

1.7K 133 3
                                    

Jam menunjukkan pukul 23.00 malam, sekarang Bara dan Gista berada di atas rooptop apartemen. Keduanya duduk di sana untuk melihat bintang yang berkelap-kelip cantik. Setelah selama 2 jam jalan-jalan di pasar malam tadi, yang sesekali naik wahana dan mengikuti permainan. Bara mengajak Gista untuk melihat bintang-bintang di atas rooptop apartemen.

Melihat bintang-bintang memang lebih asyik di atas rooptop, rasanya akan berbeda. Jika di atas rooptop mereka terlihat seperti dekat dengan bintang-bintang itu. Dan, indahnya akan berkali-kali lipat jika dilihat dari atas sana.

Sudah 8 jam lamanya mereka menghabiskan waktu bersama, dan sekarang hanya tersisa 1 jam lagi. Rasanya Gista tak ingin semuanya cepat berakhir, ia masih menginginkan bersama Bara, dekat dengan Bara, bertemu dengan Bara. Tetapi, kenapa? Kenapa keadaan tidak bisa membuatnya lebih lama lagi bersama, Bara?

"Kenapa diem aja, Gi?" tanya Bara saat melihat Gista yang hanya diam saja saat mereka datang ke sana. Padahal, melihat bintang di rooptop adalah keinginan Gista saat itu.

Gista menelan ludahnya dengan susah payah, kedua matanya menatap lurus bintang di langit. Ia tidak berani untuk menatap Bara, karena jika ia menatap Bara pertahanan yang sedari tadi ia buat akan runtuh seketika.

"Gigi pengen banget punya mesin waktu, Bara. Mesin waktu yang bisa membuat Gigi pergi ke masa lalu, dan pergi ke masa depan," ucap Gista, masih terus menatap langit.

"Kenapa pengen punya mesin waktu?" tanya Bara.

"Biar kalau Gigi lagi kangen sama Ayah & Bunda, Gigi bisa pergi ke masa lalu. Melihat mereka yang masih hidup dimasa lalu, dan Gigi juga pengen banget lihat masa depan Gigi seperti apa. Apakah suatu saat nanti Gigi akan bahagia? Siapa yang akan bersama Gigi nanti? Bagaimana kehidupan Gigi dimasa depan nanti? Gigi mau tau semuanya," jawab Gista dengan senyum pedihnya, sayangnya apa yang diinginkannya itu tidak bisa ia miliki. Mustahil baginya untuk bisa memiliki mesin atau lorong waktu.

"Kita hidup bukan di dunia fantasi, Gi. Kita hidup di dunia nyata, dunia yang fana. Bisa kembali ke masa lalu itu, hal yang mustahil. Mengingat masa lalu, mungkin bisa. Tetapi, kalau kembali ke masa lalu? Sulit untuk bisa terjadi! Dan, untuk melihat masa depan. Peramal aja belum tentu bisa meramal masa depan orang dengan benar, Gi. Karena apa yang terjadi pada kita udah disusun dengan skenario Tuhan yang tidak bisa ditebak oleh siapapun," ucap Bara dan Gista membenarkannya, apa yang terjadi pada hidupnya sudah diatur dalam skenario Tuhan yang bernama takdir.

Gista menghela napasnya berat, lalu menundukkan kepalanya. Pikirannya mulai berkecamuk lagi, memikirkan segala hal apa yang akan terjadi padanya setelah berpisah dengan Bara.

"Apa ini malam terakhir kita, Bara?" tanya Gista masih menunduk, ia tak ingin melihat Bara.

Bara terdiam saat mendapat pertanyaan itu, ia pun sebenarnya tidak ingin jika malam ini adalah malam terakhirnya bisa bersama Gista. Ia ingin esok, lusa dan seterusnya masih bisa bersama Gista. Tapi, apa yang ia bisa? Untuk sekarang ia tidak bisa apa-apa.

"Gigi belum siap berpisah sama, Bara. Kalau Bara pergi, nanti Gigi sama siapa?" lirih Gista, tanpa disadari air matanya menetes begitu saja.

"Gi ---"

"Gigi merasa aman jika bersama, Bara. Gigi merasa tenang jika ada Bara, Gigi merasa senang kalau bersama, Bara. Gigi ---" Gista tak melanjutkan ucapannya, saat tangisnya tak bisa ia tahan lagi.

"Hey, Gi. Lihat gue," ucap Bara sambil menarik dagu Gista agar mendongkakkan kepalanya dan menatap ke arahnya, "jangan nangis, lo udah janji kalau selama 9 jam ini lo nggak akan nangis. Kita, kan, udah janji buat senang-senang aja malam ini. Nggak boleh ada yang nangis," lanjut Bara sambil menangkup wajah Gista dan menghapus air matanya.

Sinyal 2G Gista ✓ [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang