Bab 21

2.7K 458 16
                                    

Hai! Untuk yang masih bekerja di luar sana seperti saya, jaga kesehatan ya! Jangan lupa cuci tangan, jaga jarak. Untuk yang WFH, tetap stay di rumah. Jangan bekeliaran diluar rumah kalau nggak penting dan mendesak. Hindari kerumunan orang banyak.  Semoga semua tetap sehat dan dilindungi Tuhan YME. Amien.

.

.

.

Dilarang menyalin, menjiplak dan mempublikasikan tanpa izin penulis!

.

.

.

Bab 21

.

.

.

Happy reading!

.

.

.

Angin dingin berembus, menggerakkan ranting-ranting daun pepohonan. Di bawah kegelapan malam serta rapatnya pepohonan, An Guo berlari. Wajahnya basah oleh air mata. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang memburu, napasnya tertahan, ketakutan mencengkram An Guo, kuat.

Di kejauhan, di belakang punggungnya dia bisa mendengar suara seorang wanita berteriak keras, "Bukan salahmu!"

Menangis, An Guo berteriak histeris, mempercepat larinya. Kedua mata pria itu dipejamkan erat. Bajunya basah oleh darah segar. Bukan darahnya, melainkan darah segar ibunya yang sekarat di belakang pria itu, dan tiba-tiba dia tersentak bangun.

Napas An Guo memburu. Kedua matanya terlihat tidak fokus. An Guo terengah-engah di atas ranjang nyamannya. Dalam keheningan malam dia menangis, pelan. Kepala An Guo ditenggelamkan ke kedua telapak tangannya yang gemetar. Rasa dingin menyeruak, menguasai tubuh pria itu.

Kegelapan di sekitarnya memberi perasaan mencekam. An Guo merasakan hampa, rasa bersalah membelenggunya kuat. Kenapa malam itu dia harus melarikan diri dari tenda?

Andai dia tidak melakukannya, tentu ibunya masih hidup saat ini. Mungkin ibunya bisa melihatnya tumbuh dewasa. Mungkin ibunya tinggal bersamanya di istana. Andai dia tidak melarikan diri dari tenda malam itu, mungkin ayahnya masih bisa bersama dengan belahan jiwanya. Mungkin paman bungsu tidak akan memilih untuk berlayar. Ada banyak hal yang terjadi jika ibu kandungnya masih hidup, dan itu pasti hal-hal yang membahagiakan.

Tangannya meraih sesuatu dari bawah bantal. Giok berbentuk kupu-kupu yang kini terbagi dua karena ulahnya.

"Maafkan aku!" An Guo berkata lirih.

Hening. Entah dia mengatakan kepada siapa? Mungkin untuk dirinya sendiri, untuk ibunya atau untuk semua orang yang mencintai mendiang ibunya. Entahlah, An Guo pun tidak tahu.

Hari-hari menuju peringatan kematian Hongli menjadi hari-hari terberat untuk An Guo. Di waktu lampau, dia akan memilih menenggelamkan diri di balik tembok tinggi paviliunnya untuk membaca kitab-kitab, laporan atau berlatih bela diri di halaman belakang paviliun. Yang diinginkannya hanya sendiri, karena itu dia mengurung diri.

Namun, tahun ini dia tidak bisa melakukannya. Ayahnya—Raja Jian Gui akan mengadakan upacara peringatan kematian untuk mendiang selir pertama. Tahun ini An Guo harus berdiri di depan altar, menjaga sikapnya untuk terlihat biasa tanpa kesedihan berlebihan. Tidak, mereka tidak boleh tahu seberapa besar kesedihan yang di dalam hatinya. Seorang putra mahkota tidak boleh terlihat lemah, bukan?

.

.

.

Pagi datang, sinar matahari menyeruak diantara awan gelap yang menggantung di langit. Mong dan Yulan saling melempar pandang. Puas karena berhasil mengumpulkan dua botol embun teratai, pagi ini.

TAMAT - MONG (Princess Of The Desert)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang