5. HUKUMAN

130 21 29
                                    

5. HUKUMAN

Galen baru saja memasuki rumah kakeknya. Saat ia melirik jam yang melingkari tangan kirinya, ia menghela napas lega. Masih menunjukkan pukul 3 pagi. Itu artinya ia masih ada kesempatan tidur.

"Baru pulang kamu, Galen?!" Seorang pria tua berdiri di ujung tangga dalam rumah. Menatap cucunya itu dengan heran.

"Seperti yang Kakek lihat," balas Galen. Ia langsung merebahkan dirinya di sofa ruang keluarga tanpa ganti baju.

"Sampai kapan kamu terus seperti ini? Kamu udah besar, sudah waktunya berpikir mengenai urusan masa depan," kata Zen. Pria tua itu menuruni tangga, berniat menghampiri Galen.

Zen menatap wajah lelah Galen dengan prihatin. Kenapa cucunya ini sangat susah untuk ia didik?

"Masa depan itu dijalani, Kek. Bukan dipikir mulu." Galen mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Berniat menghubungi seseorang.

"Seminggu lagi kamu tunangan sama Nesya. Jangan buat Kakek malu dengan perilakumu," peringat Zen. Hal itu membuat Galen berdecak.

"Galen udah bilang berapa kali sih, Kek. Galen gak mau dijodohin sama cewek itu. Galen gak suka sama dia. Galen masih butuh kebebasan. Galen masih anak SMA, Kek," ungkapnya sembari mengubah posisi menjadi duduk.

Zen menggelengkan kepala. "Ini sudah keputusan kita semua, Galen. Kamu harus menjadi suami Nesya suatu saat. Agar perusahaan Argazela lebih maju."

Galen memutar bola mata jengah mendengar kakeknya. Mungkin, semua sudah terbiasa mendengar cerita tentang perjodohan demi perusahaan. Dan Galen sekarang harus mengalaminya juga.

Tanpa menanggapi, cowok itu mengambil jaket kebanggaannya yang tadi ia lempar ke sofa yang berada di depannya.

"Galen, kamu harus siap."

Galen mendengarnya, tapi dia malas untuk menanggapi lagi.

***

Suara ayam jantan saling bersahut-sahutan. Langit yang berselaput putih menandakan bahwa mentari mulai menampakkan diri. Seorang gadis yang baru beberapa jam lalu memejamkan mata, kini harus terbangun untuk bersiap sekolah.

"NAYA! BANGUN KAMU!"

Naya mengucek matanya. Selimut tipis yang menutupi tubuhnya ia singkap. Perlahan, dia turun dari kasur dan segera keluar dari kamarnya.

"Kamu itu ya! Udah Ibu bilangin berapa kali? Jangan sampe bangun lebih dari jam 5."

Naya mengangguk. Pasrah dengan keadaan yang selalu ia jalani setiap pagi. Naya menatap takut pada Agatha yang berkacak pinggang sambil menampakkan wajah garang.

"Maaf, Bu. Naya semalem capek banget," kata Naya, berharap ibunya pengertian kepadanya.

"Sekarang kamu masak dulu. Ibu udah laper. Jangan harap kamu bisa berangkat sekolah sebelum semua urusan rumah selesai," perintah Agatha yang harus dilaksanakan oleh Naya.

Naya mengangguk dan pamit ke dapur. Dengan cekatan, ia meracik bumbu-bumbu, memotong sayur yang dia beli kemarin, dan memasaknya. Tak sampai 45 menit, semuanya siap. Naya melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30.

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang