11. MEMPERHATIKAN

114 16 25
                                        

11. MEMPERHATIKAN

Galen dan Naya berada di taman kota. Naya tidak menolak, karena sepertinya dia paham apa yang Galen rasakan sekarang.

"Lo biasanya pulang jam berapa kalo kerja?" Galen membuka suara, mengalihkan perhatian Naya yang sedari tadi hanya menatap jalanan.

"Lewat jam 1 malam pokoknya. Kenapa, Kak?" tanya Naya.

Galen menghembuskan napas berat. "Berarti gak masalah, kalo ntar gue anter lo agak maleman." Naya mengangguk sekilas. Dia juga harus membuat cara agar ibunya tidak mencurigai nanti.

Mereka sama-sama membisu. Merasa terlalu larut dengan pemikiran masing-masing. Udara semakin rendah suhunya, membuat Naya yang tidak membawa jaket atau semacamnya tadi, kini merasa kedinginan. Dia mengusap-usap lengan atasnya.

Galen yang melihat itu hanya menatap sekilas lewat ekor mata. "Jangan ngarep gue peka, terus gue kasi jas gue buat lo pake," ujar Galen.

Naya mengangguk paham. "Iya, Kak. Gak apa-apa. Lagian Naya juga gak lagi kode-kode, kok. Kasian juga nanti jasnya kotor kalo dipake sama Naya," respon gadis itu.

Galen bersandar pada kursi taman. "Sebenarnya, tadi yang tunangan itu gue. Gue dijodohin sama cewek yang tadi. Tapi gue gak mau. Gue gak rela kalo kebahagiaan gue harus dikorbankan hanya karena perusahaan."

Naya yang semula mengabaikan, kini diam-diam menyimak penjelasan Galen.

"Menurut lo, salah enggak kalo gue durhaka sekali ini aja?" tanya Galen. Naya tak mengerti maksudnya.

"Bukannya Kakak sering ngelanggar aturan? Tapi kenapa baru ngerasa bersalah sekarang?"

"Bukan itu maksud gue. Ya, gue sadar gue nakal. Tapi, yang dijodohin secara paksa kaya gini...," Galen menggantungkan kalimatnya, "gue gak mau, lah."

Naya tertawa melihat ekspresi kesal Galen. Dia sendiri tak percaya kalau Galen akan mengatakan semuanya padanya. Padahal, Naya berpikir Galen mengajaknya ke taman hanya untuk menenangkan emosi Galen. Tapi, yang ada malah curhatan dari Galen. Diam-diam hatinya menghangat melihat sikap Galen yang seperti ini.

"Ya, menurut aku yang kali ini enggak salah kok, kalo Kakak nolak. Naya yakin, seiring waktu, kakek sama papa Kak Galen akan paham. Mereka pasti mengerti, kalau hubungan tanpa dilandasi perasaan, pastinya akan ada pihak yang tersakiti. Dan, semua orang gak tahu sampai kapan mereka bisa bertahan dalam kondisi yang seperti itu. Hingga pada akhirnya, jika Kak Galen menerima dengan rasa terpaksa perjodohan ini, kalau ujung-ujungnya pisah juga percuma aja, kan?"

Galen mengangguk setuju. "Tapi ada istilah lain yang...." Galen enggan melanjutkan perkataannya.

"Yang, maksud Kakak, cinta datang karena terbiasa, cinta datang seiring waktu ketika selalu bersama?" Naya menerka-nerka. Dan ya, itu benar.

"Ya, semacam itu." Galen kembali menimang pikirannya. Dia merasa sangat bersalah kali ini. Bahkan, rasa bersalahnya melebihi ketika ia membatalkan tunangan tadi.

Naya tersenyum. "Percaya aja sama takdir, Kak. Kalau memang nanti Kak Nesya yang jadi jodoh Kakak, tanpa cara seperti ini pun Kakak juga bisa menerima Kak Nesya."

"Gimana sama kakek dan bokap gue?"

"Percaya sama Naya, mereka pasti bisa memahami perasaan Kakak," jawab Naya.

Galen terkekeh. Naya yang melihatnya langsung terpana. Seperti inikah aura Galen, ketika ia tertawa dengan tulus? "Syirik dong, kalo percaya sama lo," katanya dengan kekehan.

Naya melongo. Tak percaya bahwa cowok seperti Galen juga memiliki selera humor. Ia mengira, Galen bak patung yang kaku. Tapi, kenapa jika sendirian seperti ini, ia malah melihat sisi lain dari sosok Galen?

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang