1. KEGELAPAN

397 30 48
                                    

1. KEGELAPAN

Seorang cowok berpakaian serba hitam sedang berdiri, berpegangan pada besi jembatan yang kokoh. Tangannya terus mencengkeram benda itu kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.

Awan semakin pekat. Suara derasnya aliran sungai di bawah jembatan terdengar, bercampur dengan suara kendaraan di jalan raya.

Cowok itu menengadahkan kepalanya. Membiarkan angin menerpa kulitnya. Ia sangat lelah, merasa tertekan, dan kesepian. Kakeknya terus saja memberi wejangan tentang dunia bisnis, dan bisnis. Seakan tidak ada lagi pekerjaan selain itu. Sedangkan ia, sangat membenci urusan bisnis. Ia butuh kebebasan, melakukan sesuatu hal sesuai minat. Bukan atas dasar keterpaksaan.

Andai saja orang tuanya masih bersama, pasti ia akan bisa menikmati kebersamaan, kehangatan, bersama dengan kakak dan adiknya. Sayangnya, semuanya berubah sejak 4 tahun yang lalu.

"Gue gak bisa terus-terusan kaya' gini." Bibirnya terkatup. Matanya yang tajam terus memandang pantulan cahaya pada air di bawah sana. "Gue gak bisa dipaksa buat tunangan sama cewek yang bahkan gak gue kenal sama sekali."

Ia masih teringat apa yang terjadi tadi sore. Rombongan keluarga seorang gadis bernama Nesya Armala berdatangan ke rumah kakeknya untuk membahas acara pertunangan.

Sedangkan ia tidak ingin dijadikan piaraan yang selalu menuruti perintah kakeknya.

Cowok itu menaiki besi-besi jembatan. Ia ingin meluapkan segala rasa frustasinya. Hingga kegiatannya terhenti, ketika suara teriakan melengking itu terdengar di telinganya.

"KAKAK! JANGAN LAKUKAN ITU!"

Cowok dengan tatapan setajam elang itu melirik ke samping. Matanya memicing melihat seorang gadis berlari tertatih-tatih ke arahnya.

Cowok itu semakin bingung melihat gadis itu menarik-narik ujung kaosnya.

"Kak, turun ya?! Bahaya itu. Jangan mati dulu. Ntar kasian yang bakal jadi jodoh Kakak. Nanti dia bisa jomblo seumur hidup karena jodohnya udah mati," kata gadis itu.

Cowok itu menarik bibirnya hingga tercipta sebuah garis lurus. Muak. Ia merasa muak dengan setiap orang yang mencampuri urusan hidupnya.

Perlahan, ia pun turun dari tangga besi. Menatap penuh kemarahan pada gadis bertubuh ringkih di depannya. "Berani-beraninya lo ngatur gue," katanya dengan suara rendah.

Gadis itu membelalak. "Itu karena aku masih punya rasa manusiawi, Kak. Mana mungkin aku biarin Kakak mau bunuh diri di tempat kaya' gini. Bunuh diri itu yang elite dong, Kak. Tusuk pisau di kamar sendiri gitu. Masa lompat jembatan, sih? Kan nanti kalo arwah Kakak gentayangan kasian sama orang-orang yang lewat sini," cerocosnya.

Cowok itu terdiam. Tangannya semakin terkepal kuat.

"Gue gak suka sama orang yang berani ikut campur," katanya tegas.

Gadis itu menggeleng. "Siapa yang ikut campur, Kak? Aku cuma bilangin tadi," balasnya.

Cowok itu mendesis. Ingin sekali dia menonjok mulut lawan bicaranya itu. Kalau saja dia bukan perempuan, pasti tangannya sudah meluncurkan bogeman.

Matanya memperhatikan penampilan gadis di depannya. Kaos pendek berwarna putih kusam, celana lusuh, sandal jepit, dan....

Astaga! Cowok itu merasa hari ini benar-benar sial untuknya.

Wajah gadis di depannya ini sungguh membuatnya muak.

"Kak, kenapa lihatin aku kaya' gitu?" tanya gadis itu penasaran.

Lo jelek. Cowok itu menahan kalimat yang seakan sudah ada di ujung lidahnya.

"Kakak jangan bunuh diri ya?! Kasihan, mukanya ganteng. Sayang banget kalo harus jadi jasad malam ini," kata cewek itu lagi.

Cowok itu maju selangkah. Menundukkan kepalanya. Baru saja ia berniat lebih maju lagi, cowok itu mundur kembali.

Ck!

Cowok itu mengusap hidungnya kasar. "Denger baik-baik! Gue gak akan ngulang dua kali. Pertama, siapa emang yang mau bunuh diri? Gue cuma mau nenangin pikiran. Kedua, lo udah berani ikut campur. Sekarang, lo pergi!" tegasnya.

Cewek itu mengerjapkan mata. "Aku diusir nih ceritanya?"

Bukannya menjawab, cowok itu malah menaiki motornya dan segera melesat pergi dari tempat itu.

"Ganteng, tapi bisu," gumam cewek itu merasa kesal.

Diam-diam, ia tersenyum melihat punggung tegap berbalut jaket hitam bercorak gambar naga di sana. Pemandangan indah itu mulai menghilang terkikis jarak.

"Ganteng banget. Mirip tokoh cerita yang pernah aku baca." Ia mulai membayangkan bagaimana ciri fisik cowok yang pernah ia baca di sebuah novel. Dan kali ini, ia melihatnya secara nyata. "Semoga nanti bisa ketemu lagi."

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang